Konflik yang terjadi, dapat menyebabkan terganggunya stabilitas perekonomian yang disebabkan naiknya harga dari hasil eksplorasi pertambangan minyak mentah dan gas bumi dunia yang berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [disingkat APBN] Indonesia akibat terganggunya wilayah utara Kepulauan Natuna. Dan secara otomatis dengan adanya perubahan APBN juga mempengaruhi penurunan atau peningkatan anggaran pada masing-masing Kementrian.
Jika di lihat dari kacamata politik terhadap konflik tersebut, Indonesia memiliki orientasi kebijakan luar negeri yang bersifat netral. Peran aktif Indonesia dengan tidak memihak maupun yang turut serta dalam konflik Laut Cina Selatan merupakan salah satu cerminan politik luar negeri Indonesia, yaitu bebas aktif. Dalam konteks konflik Laut Cina Selatan ini, artian bebas yakni dengan tidak memihak, sedangkan aktif yakni Indonesia turut serta dan bergabung dalam organisasi-organisasi internasional seperti, ASEAN dan tetap mengupayakan perdamaian kawasan.
“JALESVEVA JAYAMAHE”, masih ingatkah kalian dengan adigium ini? Ya, merupakan adigium TNI Angkatan Laut Indonesia, yang berarti “Di Laut Kita Berjaya.”
Tidak dipungkiri Indonesia memiliki pengaruh besar di ASEAN yang mengantarkan Indonesia menjadi primadona dalam konflik Laut Cina Selatan. Walaupun konflik ini merupakan ancaman kestabilian keamanan nasional, Indonesia menyikapi konflik ini dengan bijak dengan tetap berpedoman pada politik luar negeri yang bebas aktif, namun tetap memelihara kerjasama bilateral maupun multilateral dan menciptakan perdamaian dalam konflik Laut Cina Selatan ini.
Terkait konflik kawasan Laut Cina Selatan, perlu adanya upaya pembangunan sistem pertahanan nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Upaya ini dilakukan untuk keutuhan wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yaitu kawasan Kepulauan Natuna yang merupakan penghubung antara kawasan Samudera India dan Laut Cina Selatan menjadi pilihan lintasan terpendek bagi kapal-kapal perang yang ingin menuju wilayah konflik di Laut Cina Selatan dan kondisi demikian dapat menimbulkan komplikasi tersendiri terhadap Indonesia.
Sikap netral Indonesia dalam menyikapi konflik Laut Cina Selatan memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal modernisasi alat utama persenjataan [Alusista] pertahanan nasional dengan menjaga hubungan bilateral diantara negara-negara kawasan ASEAN.
Namun, perlu untuk direnungkan dan diperhatikan keberadaan pulau-pulau terluar yang menjadi batas territorial Indonesia dengan negara tetangga lainnya. Ini bukan hanya tugas Pemerintah, tetapi juga merupakan tugas Bangsa Indonesia untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas ini tidak muncul ketika konflik itu sudah terjadi, melainkan harus dimulai sejak dini. Sehingga tidak terulang kembali kejadian Pulau Sipadan-Ligitan dalam konflik ini.
Jika kita telah mempunyai “rasa memiliki” maka sudah tercipta fondasi awal kekuatan pertahanan Indonesia. Untuk tahan selanjutnya, adalah kerjasama antara pemangku kekuasaan dengan masyarakat Indonesia guna mencegah perembesan atau perluasan [spill over] konflik Laut China Selatan yang secara tiba-tiba mengarah ke pulau-pulau terluar Indonesia, khususnya terkait dengan konflik ini, yaitu wilayah utara Kepulauan Natuna, sekaligus juga mengamankan eksplorasi pertambangan minyak yang berada sekitar ZEE Indonesia.
Written by: Atika Mega Chairina, Faculty of Law University of Indonesia.