Faktanya, perbedaan gender dalam karakteristik, peran, dan posisi tidak menjadi masalah kecuali hal tersebut mengarah pada ketidakadilan. Selain itu, perbedaan gender menimbulkan berbagai kesenjangan tidak hanya di kalangan perempuan tetapi juga di kalangan laki-laki, adat istiadat, norma, dan peraturan yang mengakar dalam masyarakat setempat menimbulkan berbagai perbedaan baik langsung maupun tidak langsung antara laki-laki dan perempuan, termasuk peran, fungsi, tugas, tanggung jawab, kedudukan, serta dampak undang-undang dan kebijakan pria dan wanita.
Struktur gender masih didefinisikan oleh masyarakat sebagai perbedaan seksual. Masyarakat belum memahami bahwa gender merupakan konstruksi budaya mengenai peran, fungsi, dan tanggung jawab sosial laki-laki dan perempuan. Situasi ini menimbulkan kesenjangan peran dan tanggung jawab sosial sehingga menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Sebagai perbandingan, diskriminasi terhadap perempuan kurang bermanfaat dibandingkan diskriminasi terhadap laki-laki. Ketidaksetaraan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, termasuk pengucilan, subordinasi, stereotip dan label negatif, perlakuan berbeda, kekerasan, dan peningkatan beban kerja, terutama bagi perempuan.
Ketidaksetaraan gender telah lama menjadi masalah nasional, dan untuk mengatasinya memerlukan pengakuan dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah. Ada juga kekhawatiran bahwa kesetaraan gender yang berlebihan dapat membahayakan kesatuan keluarga. Hal ini dibuktikan dengan adanya persamaan hak anak dalam bidang pendidikan, pemerataan tanggung jawab rumah tangga antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Artinya, kesetaraan gender dalam keluarga dianggap sebagai suatu hal yang baik dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan fitrah manusia atau nilai-nilai agama yang berlaku dalam masyarakat.
Kesadaran tentang kesetaraan gender perlu ditanamkan sejak dini, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pendidikan ini harus mencakup penghapusan stereotip dan penghargaan terhadap keragaman gender. Pemerintah harus memastikan adanya kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, seperti Undang Undang anti-diskriminasi, kebijakan cuti melahirkan yang setara bagi kedua orang tua, dan perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender.
Dalam keluarga, perempuan hanya dipandang sebagai sumber pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar untuk mempertahankan tenaga kerja laki-laki (suami), dan perempuan melahirkan dan membesarkan anak-anak yang kemudian menjadi bagian dari angkatan kerja untuk generasi baru. Sebaliknya, ketika perempuan memasuki dunia kerja, yaitu ketika menjadi pekerja, mereka dianggap masih bergantung secara ekonomi pada suami, diberikan upah rendah dan status rendah, serta hanya diberikan separuh jam kerja (Muhammad Taufik et al., 2022).
Daftar Pustaka
Anisatul Hamidah. (2021). Urgensi Prinsip Non-Diskriminasi Dalam Regulasi Untuk Pengarus-Utamaan Kesetaraan Genderpengarus-Utamaan Kesetaraan Gender. Jurnal Hukum & Pembangunan, 51(3), 687--688. https://doi.org/10.21143/jhp.vol51.no3.3129
Djameren, J., & Nuraeni, N. (2021). Feminisme Dalam Novel "Perempuan Di Titik Nol" (Tinjauan Analisis Feminis Sosialis). Jurnal Sipakalebbi, 4(2), 409--424. https://doi.org/10.24252/jsipakallebbi.v4i2.18551
Muhammad Taufik, Suhartina, S., & Hasnani, H. (2022). Persepsi Masyarakat Terhadap Kesetaraan Gender dalam Keluarga. SOSIOLOGIA: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 1(1), 51--66. https://doi.org/10.35905/sosiologia.v1i1.3396
Qomariah, D. N. (2019). Persepsi masyarakat mengenai kesetaraan gender dalam keluarga. Jendela PLS: Jurnal Cendekiawan Ilmiah Pendidikan Luar Sekolah, 4(2), 52--58. https://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jpls/article/view/1601
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI