Mohon tunggu...
indiraprameswari
indiraprameswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ritual Ruwatan sebagai Penjaga Harmoni Kosmis dalam Masyarakat Jawa

9 Desember 2024   08:38 Diperbarui: 9 Desember 2024   11:45 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruwatan merupakan salah satu tradisi spiritual yang telah ada dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad. Ritual ini bertujuan utama untuk menjaga harmoni kosmis antara manusia, alam, dan kekuatan gaib yang diyakini mengatur keseimbangan di dunia. Menurut pandangan masyarakat Jawa, kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh kekuatan gaib, baik yang membawa keberuntungan maupun kesialan. Oleh karena itu, ruwatan berfungsi sebagai sarana untuk menghapus energi negatif atau kesialan, sehingga kehidupan dapat kembali selaras dengan tatanan alam semesta.

Makna Filosofis Ruwatan

Secara etimologis, istilah "ruwatan" berasal dari kata "ruwat," yang berarti "membersihkan" atau "membebaskan. " Filosofi yang melandasi ritual ini terletak pada keyakinan bahwa setiap individu harus bebas dari pengaruh buruk atau "sukerta" yang melekat padanya. Sukerta merujuk pada kondisi tertentu yang dianggap membawa kesialan---seperti kelahiran dalam situasi yang kurang menguntungkan (misalnya, sebagai anak tunggal, kembar, atau lahir pada waktu yang dianggap tidak baik).
Dalam kosmologi Jawa, konsep harmoni kosmis dikenal sebagai "keselarasan antara jagad kecil (mikrokosmos) dan jagad besar (makrokosmos). " Ketidakseimbangan dalam satu aspek ini diyakini dapat menyebabkan gangguan dalam kehidupan manusia, baik dalam bentuk penyakit, kemalangan, atau konflik sosial. Oleh karena itu, ruwatan berfungsi untuk "meluruskan" hubungan manusia dengan kekuatan spiritual di sekitarnya.

Asal-usul Ruwatan

Asal-usul ruwatan ini berasal dari cerita pewayangan. Kisah yang menceritakan seorang tokoh Batara Guru yang istimewa memiliki dua orang istri, yang bernama Pademi dan Selir. Dari Pademi, Batara Guru memiliki seorang anak laki-laki bernama Wisnu, sedangkan dari Selir, ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Batarakala.Ketika Batarakala dewasa, ia menjadi sosok yang jahat dan kerap mengganggu anak-anak manusia untuk dimakannya. Konon, sifat jahat Batarakala ini disebabkan oleh hawa nafsu sang ayah, Batara Guru, yang tidak terkendali.Dalam suatu peristiwa, Batara Guru dan Selir sedang mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seekor lembu. Tiba-tiba, hasrat seksual Batara Guru muncul dan ia ingin bersetubuh dengan Selir. Namun, Selir menolak dan air mani Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Air mani tersebut kemudian berubah menjadi raksasa yang dikenal dengan nama Batarakala.Konon, Batarakala meminta makanan berupa manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengizinkan dengan syarat bahwa manusia yang dimakan haruslah wong sukerto, yaitu orang-orang yang mendapat kesialan, seperti anak tunggal. Oleh karena itu, setiap anak tunggal harus menjalani ruwatan agar terhindar dari malapetaka dan kesialan.

Jenis - Jenis Ruwatan

Jenis-jenis RuwatanDalam jurnal "Ruwatan dalam Budaya Jawa" karya S. Reksosusilo disebutkan ada berbagai bentuk atau jenis ruwatan. Berikut di antaranya:

1. Ruwatan Rasul

Ruwat rasul yang berwujud selamatan biasa. Ruwatan tersebut digelar untuk mohon keselamatan bagi seseorang yang dilakukan para agamawan (Islam). Sifatnya religius.

2. Ruwatan Pertunjukan Wayang Beber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun