Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah unit usaha yang mendominasi kegiatan usaha di Indonesia. Data yang dirilis oleh departemen koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa 99,99% unit usaha di Indonesia merupakan UMKM, dimana unit-unit usaha tersebut telah menyerap tenaga kerja sebanyak 96,91% dari total tenega kerja Indonesia, dan telah berkontribusi sebesar 60,5% dari total PDB Indonesia[1].Â
Data diatas cukup membuktikan bahwa UMKM adalah tulang punggung yang menopang perekonomian Indonesia. Oleh karenanya, setiap kebijakan yang ditetepkan terhadap UMKM, secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi perekonomian nasional, tak terkecuali kebijakan pemajakan UMKM yang akan dibahas dalam artikel ini.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha produktif milik perorangan badan usaha, maupun yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian dari usaha kecil maupun besar lain, dengan kekayaan bersih sampai dengan sepuluh miliar rupiah, dan penjualan tahunan sampai dengan lima puluh miliar rupiah [3].Â
Sedangkan dalam perpajakan, terdapat Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengenaan pajak final atas Wjib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu, dimana peredaran bruto tertentu yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00. Maka dapat disimpulkan bahwa tarif pajak final dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditujukan untuk Wajib Pajak UMKM.
Beberapa tahun belakangan, UMKM menjadi perhatian bagi pemerintah. Terlihat dari dikeluarkannya beberapa kebijakan yang ditujukan untuk merangsang pertumbuhan bisnis UMKM. Disamping diberlakukannya tarif final pada tahun 2018 silam, pemerintah melakukan beberapa upaya lain, seperti yang dikutip dalam artikel yang dirilis kemenkeu.co.id, yakni mempercepat proses perijinan usaha, penurunan bunga pinjaman, dan lain-lain [2].
Kebijakan pemajakan terhadap Wajib Pajak UMKM yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, secara langsung memiliki tujuan yang mengarah kepada jumlah penerimaan pajak. Namun lebih jauh, peraturan ini juga memiliki peran sebagai salah satu tools yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk dapat mengendalikan perekonomian nasional.
- Tarif : PP 23 Tahun 2018 menetapkan tarif pajak final sebesar 0,5% untuk peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar rupiah, lebih rendah 50% dibandingkan dengan PP 46 Tahun 2013
- Terdapat opsi bagi Wajib Pajak untuk dapat menggunakan tarif Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan.
- Bagi Wajib Pajak yang telah dikenakan tarif Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan tidak dapat kembali dikenai Pajak penghasilan berdasarkan PP 23 2018.
- Terdapat jangka waktu dalam pengenaan tarif Pajak Penghasilan final ini, yakni paling lama 7 tahun bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, 4 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer, dan Firma, serta 3 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas.
Dapat dilihat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 menetapkan tarif final yang lebih rendah bagi WP dengan peredaaran bruto tertentu (UMKM). Hal ini tentu memberikan efek negatif terhadap capaian penerimaan pajak. Lantas tujuan pemerintah untuk menetapkan penurunan tarif final ini tentu tidak berkaitan dengan penerimaan pajak, melainkan ditujukan untuk merangsang pertumbuhan bisnis UMKM.Â
Dalam sosialisasi penetapan tarif baru PPh final UMKM di tahun 2018, Presiden Joko Widodo menerangkan bahwa pemberlakuan tarif baru ini bertujuan untuk meringankan beban pajak Wajib Pajak UMKM, sehingga harapannya dana dapat dimanfaatkan Wajib Pajak untuk melakukan ekspansi bisnis [2].
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 juga mengatur bahwa Wajib Pajak memiliki opsi untuk dapat menggunakan tarif umum sesuai dengan Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan. Wajib pajak yang memilih menggunakan tarif umum ini tentu adalah Wajib Pajak yang telah mampu menyelenggarakan pembukuan, dan oleh karenanya dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan laba bersih yang diperoleh Wajib Pajak.
Pengenaan tarif umum ini sebenarnya lebih berkeadilan dibandingkan dengan tarif final, sebab jumlah pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak besarnya akan sesuai dengan keuntungan bersihnya. Tidak seperti penghitungan dengan tarif final yang jumlah pajak terutangnya dihitung berdasarkan peredaran bruto saja, yang akan merugikan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tinggi, namun sedang merugi.