Jika kita lihat antara bendera Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dengan Kesultanan Aceh maka tidak jauh beda dan terlihat mirip. Berhiaskan simbol bulan sabit dan bintang putih dengan warna merah yang menjadi latar belakang bendera itu. Adanya kemiripan dari bendera tersebut bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan saat itu terdapat ikatan historis antara Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dengan Kesultanan Aceh. Mereka memiliki satu tujuan yang sama yaitu mengusir imprealisme barat yang sedang berkuasa.
Antara Turki dan Aceh terbentang ribuan kilometer jarak geografis. Namun, hal itu bukanlah penghalang antara kedua kesultanan besar itu untuk menjalin sebuah hubungan baik, terutama antar kedua pemimpin kesultanan tersebut. Pada abad ke-16, hubungan antara Kesultanan Utsmaniyah dan Kesultanan Aceh melibatkan hubungan antara Sultan Selim I dari Kesultanan Utsmaniyah dan Sultan Alauddin Riayat Syah dari Kesultanan Aceh.
Sultan Selim I (1512-1520) adalah sultan Utsmaniyah yang terkenal karena berhasil menaklukkan Mesir dan menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Timur Tengah. Selim I juga dikenal sebagai pendiri Kekaisaran Utsmaniyah yang lebih agresif dalam memperluas wilayah dan pengaruhnya.
Sultan Alauddin Riayat Syah (1589-1604) adalah salah satu sultan Aceh yang terkenal. Beliau adalah seorang yang berani dan kuat serta mengembangkan kekuatan militernya. Selama masa pemerintahannya, ia mampu mempertahankan kemerdekaan dan memperluas kekuasaan Aceh melalui serangkaian ekspedisi militer.
Sejak tahun 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka dan menjadi rival bagi Aceh dalam meluaskan pengaruhnya di Selat Malaka, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Disebabkan oleh itu Aceh menjalin hubungan dengan Kekhalifahan Turki Utsmani untuk meminta bantuan dan menjalin kerja sama untuk menghadapi portugis.
Permintaan bantuan tersebut dilakukan melalui pertukaran surat resmi antara dua kesultanan tersebut. Aceh meminta bantuan Utsmaniyah dalam bentuk dukungan militer dan bantuan teknologi untuk melawan Portugis. Surat dari Kesultanan Aceh dikirimkan melalui utusannya ke Istanbul pada tahun 1562 dengan meminta bantuan berupa senjata militer yaitu meriam. Kesultanan Utsmaniyah memberikan respons positif terhadap permintaan Aceh dan mengirimkan pasukan dan dukungan yang membantu kesultanan Aceh dalam perlawanan melawan penjajah Portugis.
Sultan Selim lI, selaku sultan yang berkuas pada saat itu memberi meriam dan seorang teknisinya yang bernama Lutfi Bey untuk pergi ke Aceh. Alhasil, kerjasama antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Utsmaniyah membuktikan berhasil dalam melawan penjajahan Portugis, sehingga kesultanan Aceh tetap bertahan sebagai wilayah yang bebas dari dominasi kekuasaan Portugis.
Utsmaniyah mengajari Aceh bagaimana membuat meriam, yang pada akhirnya banyak diproduksi. Dari awal abad ke-17, Aceh dapat berbangga akan meriam perunggu ukuran sedang, dan sekitar 800 senjata lain seperti senapan putar bergagang dan arquebus. Ekspedisi yang dilakukan olehUtsmaniyah ke Aceh tersebut menyebabkan berkembangnya pertukaran antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani dalam bidang militer, perdagangan, budaya, dan keagamaan.
Dalam kontak perdagangan, Kesultanan Utsmaniyah dan Kesultanan Aceh terlibat dalam jaringan perdagangan internasional yang sama, seperti perdagangan rempah-rempah dan barang-barang lainnya. Keduanya memiliki pelabuhan yang strategis dan menjadi pusat perdagangan di kawasan mereka.
Dalam bidang diplomasi dan aliansi, baik Kesultanan Utsmaniyah maupun Kesultanan Aceh melakukan upaya diplomasi untuk memperoleh dukungan dan perlindungan dari kekaisaran atau negara-negara lain. Mereka juga melakukan perjanjian dan aliansi untuk melawan musuh bersama dan mempertahankan kepentingan mereka.
Dalam pertukaran kebudayaan, kontak antara kedua kesultanan ini juga membawa pertukaran kebudayaan, seperti bahasa, seni, dan agama. Para ulama dan orang-orang terpelajar dari Kesultanan Utsmaniyah sering berinteraksi dengan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara, termasuk Kesultanan Aceh.