Mohon tunggu...
INDIRA NUGROHO
INDIRA NUGROHO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komentar Masyarakat Mengenai Polarisasi Politik Pemilu 2024

27 Desember 2023   22:48 Diperbarui: 27 Desember 2023   22:48 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Polarisasi politik adalah fenomena di mana perbedaan pendapat atau pandangan politik antara individu atau kelompok menjadi semakin tajam dan ekstrem. Dalam konteks politik yang penuh persaingan, seringkali terjadi polarisasi dan konflik yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan harus tetap dijaga dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Menjelang Pemilu 2024 di Indonesia, polarisasi politik menjadi isu utama. Lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri dan 1,75 juta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan mendatangi tempat pemungutan suara pada 14 Februari 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden berikutnya.

Potensi penyalahgunaan wewenang, terbajaknya sistem demokrasi, hingga ancaman suburnya politik dinasti dinilai pengamat politik akan mewarnai jalannya Pilpres 2024. Polarisasi politik pernah menjadi mimpi buruk bagi demokrasi Indonesia pada dua pemilu sebelumnya. Segregasi sosial imbas polarisasi politik pada Pemilu 2014, berimbas panjang pada Pemilu 2019, bahkan teresidu kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017. 

Menurut saya, polarisasi politik dapat mempengaruhi cara masyarakat dalam memandang dan merespons isu-isu politik. Misalnya, dalam konteks pemilu, polarisasi dapat mempengaruhi cara masyarakat dalam  memandang calon dan partai politik, serta isu-isu yang menjadi fokus dalam kampanye. Ini dapat menciptakan lingkungan politik yang lebih terpecah, di mana pemilih merasa harus memilih antara "kami" dan "mereka", bukan berdasarkan isu atau kebijakan tertentu. Selain itu, polarisasi politik juga dapat mempengaruhi dinamika politik di tingkat lokal. 

Misalnya, dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), polarisasi dapat menciptakan ketegangan antara kelompok-kelompok lokal dan mempengaruhi hasil pemilihan. Ini dapat menciptakan lingkungan yang kurang kondusif untuk kerja sama dan kompromi politik. Pada akhirnya, polarisasi politik dapat mempengaruhi kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Jika polarisasi menjadi terlalu ekstrem, ini dapat mengancam stabilitas politik dan mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan secara efektif. 

Menurut M.Qodari ketua umum Gerakan Sekali Putaran (GSP), Jika pilpres harus dua putaran dapat berpotensi menimbulkan polarisasi politik ekstrem. Karna bagi Qodari polarisasi bukan sekedar mitos tetapi nyata ditengah hidup masyarakata Indonesia. 

Di Tribun Solo juga, M.Qodari menyampaikan tiga variabel yang dapat memercikan polarisasi politik. Pertama, secara sosiologis pembelahan di masyarakat sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum republik Indonesia berdiri. Kedua, polarisasi terjadi karna adanya provokasi dari elit politik yang sengaja menggunakan isu isu kesukuan, agama,ras dan antar golongan serta politik identitas untuk meraih kemenangan dalam kontestasi. Ketiga, polarisasi terjadi sebab problem desain konstitusi karena pemenang mensyaratkan minimal meraih suara 50% + 1 dalam pilpres. 

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, termasuk pemilih, calon, partai politik, dan lembaga pemerintah untuk bekerja sama dalam mencegah dan mengatasi polarisasi politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun