Seorang perokok biasanya dianggap menjadi manusia paling boros dan egois di muka bumi ini. Hal itu dikarenakan, harga rokok yang semakin hari kian mahal, namun mereka tetap membeli di atas kebutuhan pokok mereka. Jika ini terus dibiarkan, dampak buruk akan terjadi di mana-mana. Asap rokok yang banyak, mengganggu pernapasan. Hal ini yang dikhawatirkan banyak orang. Sang perokok terkadang tidak sadar, dia adalah akar dari berbagai biang masalah. Namun, pemerintah Indonesia tidak hanya tinggal diam. Pemerintah Indonesia memberikan solusi agar pengguna rokok di Indonesia berkurang.
Cukai rokok adalah cukai yang dikenakan atas barang kena cukai berupa hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Hal tersebut sesuai yang dijelaskan pada Pasal 1 dan Pasal 4 UU No.11/1995 juncto UU No. 39/2007. Demikian juga sesuai dengan Pasal 1 UU No.28/2009, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat.
Cukai rokok di Indonesia memiliki peran besar dalam meningkatkan hasil pendapatan negara. Negara sangat diuntungkan karena pemerintah dapat memakai ataupun menarik pajak rokok yang nantinya akan bermanfaat dari bidang segi manapun. Tidak hanya menambahnya pendapatan negara, cukai rokok yang kian naik dapat membuat para perokok yang ada di Indonesia enggan untuk membeli rokok yang harganya sekarang bertambah mahal. Selain itu, para petani tembakau juga dapat hidup makmur atas hasil kerja kerasnya yang membuat bahan rokok.
Bahkan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berkata bahwa dia sangat senang jika biaya cukai dan pajak rokok bisa naik karena negara akan menerima pendapatan yang cukup besar dari bea cukai. Dengan maksud menaikkan tarif cukai dan pajak rokok, Sri Mulyani bertujuan untuk mengatasi beredarnya rokok illegal yang terjadi di Indonesia. Lalu, ditambah lagi, Sri Mulyani ingin menaikkan kembali tarifnya untuk menekan lebih kuat para pengguna rokok agar semakin berkurang. Sri Mulyani pun memanfaatkan kenaikan tarif pada tahun 2022 dan kembali menaikkan tarif pada 2023-2024 mendatang.
Cukai dan pajak rokok yang dapat dipungut oleh pemerintah ini, biasanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan juga kesehatan. Terutama untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), biaya cukai dan pajak rokok sangatlah berpengaruh pendapatan yang tinggi inilah kemudian dimanfaatkan untuk berbagai sektor terutama Kesehatan. Indonesia sudah mulai mengembangkan JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional yang diperuntukkan untuk menyejahterahkan rakyat. Anggaran yang dipakai beberapa berasal dari pajak dan cukai rokok yang tinggi. Hal itu disesuaikan dengan perintah Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK/0.7/2017. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) anggaran yang dapat seminimalnya dipakai 50% dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-DHT).
Dana yang berasal dari cukai dan pajak rokok diusahakan digunakan sebijaksana mungkin, dengan contoh seperti menanggulangi defisit yang terjadi pada BPJS dengan tujuan untuk masyarakat yang sehat dan membuat sebuah kebijakan seperti JKN untuk menyajterakan warga negara Indonesia. Dampak yang dapat dirasakan lainnya pun, para perokok diharapkan untuk mengurangi penggunaan rokok mengingat bahaya kesehatan yang akan dihadapi dan masa depan yang abu-abu dipenuhi asap rokok. Dan juga dibayang-bayangi oleh orang-orang yang tidak menyukai asap rokok. Terutama, rokok sudah mulai semakin mahal lebih baik menggunakan penghasilan untuk membeli bahan pokok terlebih dahulu.
Referensi:
Putri, Aulia Mutiara Hatia. (27 Desember 2022). Sri Mulyani Happy, Pendapatan Cukai Rokok Nyaris Rp 200 T. Retrieved from www.cnbcindonesia.com:
Hanjarwadi, Waluyo. (Agustus 2023). Mengenal Perbedaan Cukai Rokok dan Pajak Rokok. Retrieved from www.pajak.com:
Manullan, Sardjana Orba dkk. Februari 2023. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemanfaatan Pajak Berganda Rokok
Sebagai Pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional. Vol.2, No.02, 2023: 1-5]Â
Ispriyarso, Budi. Fungsi  Reguler Pajak Rokok Di Bidang Kesehatan
Masyarakat Dan Penegakan Hukum. Jilid 47, No. 3, Juli 2018: 3]