Bagiku sakit adalah seperti masuk universitas. Aku harus belajar:
- bagaimana mengatasi sakit ini?
- apa yang sesungguhnya terjadi?
- apa yang sedang dikatakan oleh tubuh dengan menghadirkan sakit?
- apa yang selama ini kulalaikan sehingga ia harus menjadi sakit agar aku mulai memperhatikan?
Dengan cara ini aku bertanggung jawab pada diriku sendiri. Dokter, tabib, guru, dan pakar-pakar lain memberikan masukan dan bantuan, tapi tetap akulah yang memegang kendali atas setiap sel dalam tubuhku.
Dan kanker adalah universitas yang amat sangat hebat dan prestisius. Tak banyak yang mau benar-benar belajar, dan kebanyakan pasrah hanya menyerahkan diri begitu saja. Mungkin karena merasa nyawanya terancam, dan tak merasa punya waktu untuk belajar. Jadi siapapun yang mau belajar akan memiliki ilmu yang sangat berharga. Dan ilmu ini sangat dibutuhkan banyak orang.Â
Bagi mereka yang sembuh dari sakit, adalah ibarat mereka yang lulus dan terjun ke masyarakat. Tantangannya setelah sembuh (atau lulus) adalah mampukah mereka berbagi ilmu? Mampukah ilmu yang didapat terus dipraktekkan agar mereka tak perlu lagi mengulang (relapse)?
Di kampus kita punya banyak teman. Banyak yang sama-sama belajar, dan kita merasa punya banyak teman senasib sepenanggungan. Dalam komunitas-komunitas kita berbagi ilmu, saling pinjam meminjam catatan, membahas ilmu, mengajarkan pada teman. Bagi kita yang sembuh (atau lulus), mampukah kita terus mendukung mereka yang butuh kita dukung? Mampukah kita menjaga persahabatan dengan mereka yang membutuhkan?
Di kampus kita sangat idealis. Ada aturan-aturan yang harus diikuti. Pola makan, pola pikir, pola hidup sehat yang membawa kita ke fitrah sebagai manusia. Pola yang mendukung proses penyembuhan. Kita berjuang mati-matian mempertahankan aturan ini. Bahkan kita mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk ikut mendukung idealisme kita. Tantangannya bagi kita yang sudah lulus (atau sembuh), mampukah kita mempertahankan idealisme ini? Mampukah kita menjaga pola makan, pola pikir dan pola hidup sehat yang kita jaga ketat selama sakit (di kampus).
Di kampus kita mencoba dekat dengan guru, menggali ilmunya sebanyak-banyaknya, agar kita bisa menjalani ujian dengan mudah. Guru ini pula yang menentukan kelulusan kita (atau kesembuhan kita). Guru di kampus juga menjadi guru di luar kampus. Karena hanya ada satu Sang Maha Penentu yang menentukan kehidupan ktia semua. Nah, tantangannya, apakah kita mampu terus mendekat padaNya setelah kita lulus (sembuh)? Karena kebanyakan orang jadi menjauh, bahkan tak kenal lagi pada Gurunya, sehingga Sang Guru merasa penting mengajaknya belajar kembali di kampus, agar bisa lebih dekat denganNya.
Kunci lulus sesungguhnya mudah. Kita tinggal membuktikan pada Sang Guru bahwa: kita sudah bisa mempraktekkan ilmu kita di masyarakat. Jadi kalau mau sembuh/lulus, tanyalah diri sendiri,Â
- apakah kita sudah bisa menjalankan semua pelajaran yang kita dapatkan?
- apakah kita bisa selalu menjalankan hidup sesuai fitrah sesuai pembelajaran selama sakit?
- apakah kita bisa terus dekat denganNya dan terus belajar menjadi manusia yang lebih baik setiap hari?Â
- apakah kita terus bisa mendukung sesama?
Tak ada yang mau sakit, tapi semua ingin masuk sekolah paling prestisius, kan? Nah itulah yang membuatku sangat bergembira ketika mendapat konfirmasi diagnosa kanker. Dan ini berkah, hadiah Allah bagiku. Sikap dan anggapan ini sangat membantuku. Alhamdulillah.
Menganggap sakit sebagai:
- universitas di mana kita bisa belajar
- atau sebagai resort, di mana kita bisa beristirahat dengan nikmat
- atau sebagai kamar mandi, di mana ktia sedang dibersihkan
- atau malah sebagai penjara, di mana kita tak punya pilihan , harus mengambil metode yang kita tak sukai, dan dipaksa untuk menerima
semua adalah pilihan kita, yang menentukan sikap kita dan tingkat kebahagiaan kita saat menjalani sakit tersebut. Pilihlah sikap yang bahagia, anggaplah sakit sebagai sesuatu yang membangun, membawa ke tempat yang lebih baik, lebih mulia, lebih dekat denganNya, lebih faham jalan masuk ke dalam surgaNya.