Â
Ada seorang tahanan penjara yang masih sangat muda. Ia harus menjalani hukuman mati. Sebelum duduk di kursi listrik, ia diminta menuliskan pesan terakhirnya. Dan inilah yang ditulisnya:
Ibuku sayang, Jika hukum itu adil, saat ini juga Ibu pun akan berada disini, duduk disebelahku menunggu hukuman di kursi elektrik ini. Tapi karena hukum itu buta, saya dinyatakan bersalah atas kejahatan yang kita lakukan bersama-sama. Ibu, ingat tidak waktu anakmu ini berumur tiga tahun, aku mencuri permennya kakak? Ibu tidak membetulkanku. Ibu tidak bilang bahwa aku salah dan yang aku lakukan tidak baik.Â
Aku juga ingat dengan baik waktu aku berumur lima tahun, pada hari itu aku mencuri mainan tetangga dan menyembunyikannya di rumah. Tapi Ibu bilang; "Mainan itu tidak ada di rumah."Â
Ibu.. ketika aku berumur dua belas tahun, kusenyembunyikan bola sepupuku di garaasi ketika ia datang bermain ke rumah, tapi ibu malah bilang; "Ibu memang melihatnya sebelum bola tersebut hilang."Â
Apa ibu ingat di hari ketika aku dikeluarkan dari sekolah waktu aku berumur lima belas tahun? Ayah ingin menghukumku, tapi ibu menolaknya dan di hari itu Ibu bertengkar hebat dengan Ayah hanya karena ingin membelaku, Ibu bilang aku masih muda. Ibu juga bilang bahwa guru salah karena sudah mengatakan kalau aku tidak hadir di kelas.Â
Ibu membelaku, ibu bilang belum waktunya aku tahu bahwa aku salah. Ibu bilang aku benar. padahal ibu tahu aku salah. Ibu juga ingat dengan baik, Ibu melihatku mencuri sepeda tetangga ketika aku berusia tujuh belas tahun, tapi Ibu tidak melaporkan bahwa aku sudah menjualnya, Ibu malah diam saja.Â
Ibu sangat sangat mencintaiku, ya Ibu sayang padaku, tapi Ibu tidak membetulkan aku, dan malah memanjakanku. Itulah bagaimana semuanya berawal dan selesai perlahan-lahan sampai hari ini ketika saya akan di strum karena perampokan dan pembunuhan. Aku masih sangat muda, Ibu, aku butuh perlindunganmu saja. Dan saat Ibu membaca ini, aku sudah mati. Salam, anakmu tersayang.
Sahabat,
Tidak ada anak yang boleh menyalahkan orang tuanya, karena semua bertanggung jawab atas diri sendiri. Tapi bagaimana kalau anak kita tiba-tiba menulis seperti di atas? Atau minimal merasa seperti di atas? Menyalahkan kita akan keburukan yang tak diketahuinya sebagai keburukan?
Tugas kita sebagai manusia memang "mendorong kebaikan, mencegah keburukan." Dan dari dua hal itu, mencegah keburukan adalah yang paling tidak enak, tidak mudah, dan sering dilalaikan. Padahal penting sekali. Bukan tidak mungkin Allah meminta pertanggung jawaban kita nanti, kenapa kita tak mengajarkan apa yang buruk dan tak boleh dilakukan? tak mengingatkan saat hal itu terjadi? tak mengingkari dalam hati dan mendoakan saat tangan dan kata tak lagi mampu menghentikan keburukan? tak lagi merasa itu buruk dan menganggapnya "biasa" atau malah "trend"?
Yuk, kita mulai dari rumah. Sejak anak masih kecil, ajarkan mereka nilai-nilai luhur, agar mereka tahu batasan yang tak boleh dilanggar. Suatu hari semua kebaikan mereka akan menemani kita di akhirat nanti. Dan kita akan bersyukur bahwa kita melakukan hal yang tak mudah dan dilalaikan orang lain.
Dari Indra Noveldy dan Delima Dewi Bastari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H