Mohon tunggu...
Indira Abidin
Indira Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tak Ada Istilah Cancer Fighter dalam Kamusku Kini

7 Februari 2017   07:52 Diperbarui: 7 Februari 2017   08:38 3021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu waktu aku baru saja menerima diagnosa kanker aku menyebut diriku sendiri #CancerFighter dengan bangga. Keren sepertinya istilah itu. Di mana-mana kububuhkan tanda tanganku sebagai "Cancer Fighter." Dan dengan identitas baru ini memang aku seperti punya intensi untuk menghantam sel-sel kanker dalam tubuhku. Seakan-akan sel-sel ini adalah musuh besar dalam tubuhku.

Saat aku mengambil sertifikasi coach internasional, aku belajar tentang otak dan hormon. Ternyata setiap kata "fight" akan diartikan oleh tubuh sebagai tanda bahwa inilah saatnya bertempur. Dan saat bertempur, otak akan memerintahkan berbagai organ tubuh lainnya untuk siap perang. Jantung akan berdetak lebih kencang, tekanan darah naik, darah mengalir lebih deras, dan sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit ditunda sampai perang selesai.

Memang dalam kondisi perang kita tidak bisa membangun. Demikian juga tubuh. Kondisi perang tidak memungkinkan tubuh untuk punya energi untuk "beres-beres" dan "bebenah" dengan membangun imunitas tubuh. Hal ini tidak menguntungkan bagi tubuh yang sedang berusaha sembuh.

Saat tubuh "perang" tubuh akan dibanjiri kortisol, dan tidak memproduksi endorfin. Padahal endorfin penting untuk membangun perasaan bahagia dan anti sakit. 

Untuk bisa membangun tubuh yang siap membangun dari dalam, kita harus menghindari sikap "perang" terhadap diri kita sendiri. Sel kanker adalah sel diri kita sendiri yang harus kita cintai dan kirimkan sayang. Sel normal yang menjadi sel kanker sesungguhnya adalah wujud jeritan tubuh akibat sesuatu hal yang membuatnya tidak nyaman dan harus berubah menjadi sel kanker. Bukan memeranginya, kita perlu mengirim energi cinta sebanyak-banyaknya padanya, agar ia sembuh dan kembali normal, atau keluar dengan damai.

Akupun kemudian menggantikan kata "cancer fighter" menjadi "penerima anugerah kanker" untuk bisa membangun perasaan syukur menerima kanker. Ternyata setelah dicek oleh dr. Hanson di Hanara, identitas tersebut belum bisa diterima begitu saja oleh para penerimanya. Tak semua orang bisa mencerna bahwa kanker adalah "anugerah". Lalu dr. Hanson pun menyarankan untuk menggantikannya dengan "penerima kurikulum kanker" yang bisa lebih menguatkan dan lebih mudah diterima.

Menerima diagnosa kanker adalah momentum bagi kita semua untuk belajar lebih dekat mengenal tubuh untuk bisa mensucikannya. Bukan hanya tubuh, tapi pikiran dan jiwa. Karena apa yang terjadi pada tubuh bisa jadi adalah dampak dari apa yang terjadi pada pikiran dan jiwa. Identitas "penerima kurikulum kanker" ternyata lebih mendorong penyandangnya untuk belajar, seperti masuk universitas. 

Dengan mempelajarinya, mengenalnya lebih dalam, kita akan lebih mampu mensucikannya. Dan barulah kemudian kita bisa mensyukurinya dan mulai menerimanya sebagai "anugerah." Karena kanker ternyata adalah kesempatan yang diberikan Sang Maha Pencipta untuk menjadi manusia yang lebih baik, lahir batin, untuk perjalanan di dunia dan di akhirat.

Alhamdulillah.

Untuk semua teman di Lavender, kita buang istilah "cancer fighter" atau "pejuang kanker" yuk. Kita ganti dengan "penerima kurikulum kanker." Dan marilah kita mulai benar-benar belajar mengenali seluruh sel dalam tubuh kita. Agar semua sel dan semua sudut jiwa dan pikiran dapat memberi tahu kita, bagaimana caranya untuk sembuh, bahagia dan menjadi "vibrant" untuk membawa berkah bagi semesta.

The soul knows how to heal, it's the mind that needs to be silenced. Jiwa selalu tahu bagaimana untuk sembuh, pikiranlah yang harus ditenangkan. Memang pikiran kita sering membawa kita ke berbagai tempat, melompat ke sana ke mari sehingga sulit bagi kita untuk mendapat petunjuk apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh jiwa untuk bisa tenang dan menyembuhkan tubuh.

Dengan menjadi pejuang, agak sulit bagi kita untuk "menenangkan pikiran." Semoga dengan menjadi "pembelajar, penerima kurikulum" kita bisa lebih tenang mendengarkan si jiwa berbicara. Karena dari sanalah Sang Maha Penyembuh sesungguhnya menitipkan pesan dan petunjukNya.

-----------

Ingin membantu teman-teman penerima kurikulum kanker di Lavender? Silakan kirim donasi anda ke Yayasan Lavender Indonesia di Bank Mandiri nomor rekening 1270007342932. Kirim bukti transfer ke Indri Yusnita via wa atau sms di +62 815 8700930.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun