Mohon tunggu...
Indira Dwi Kusumawardani
Indira Dwi Kusumawardani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta Angkatan 2023

Lahir di Jakarta dengan hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Satu Tahap Vs Dua Tahap, Implementasi Model Komunikasi Massa di Indonesia

6 Juli 2024   15:05 Diperbarui: 6 Juli 2024   15:08 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Media Massa Digital. Sumber : pexels.com

Dikutip dari Bittner dalam buku Komunikasi Massa (2016) karya Khomsahrial Romli, Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Di era modern saat ini, implementasi model komunikasi massa mengalami pergeseran. Media massa baik tradisional maupun digital terus berlomba-lomba dalam menyampaikan pesan ke khalayak. Di Indonesia, hal ini terlihat jelas dengan menjamurnya media massa digital, seperti media sosial, platform berita online, dan layanan streaming video. Namun, bagaimana sebenarnya pesan-pesan tersebut bisa tersampaikan kepada publik? Apa model komunikasi massa yang diimplementasikan di Indonesia? Manakah model komunikasi massa yang paling relevan pada saat ini?

1. Model Satu Tahap

Model satu tahap komunikasi massa dikenal sebagai teori jarum suntik (hypodermic needle theory). Model satu tahap dipelopori oleh Harold Laswell. Model ini menyatakan bahwa media massa memiliki pengaruh langsung dan kuat terhadap khalayaknya dalam membentuk opini dan perilaku publik. Bisa dikatakan pada model ini khalayak lebih pasif dan tanpa adanya proses penyaringan atau interpretasi dari pihak ketiga.

2. Model Dua Tahap

Model dua tahap komunikasi massa dikemukakan oleh Paul Lazarsfeld, Elihu Katz, dan James Coleman. Mereka memandang bahwa informasi dari media massa pertama-tama diterima oleh pemuka pendapat (opinion leader) sebelum disebarluaskan kepada khalayak yang lebih luas. Dalam model ini, pemuka pendapat berperan sebagai filter dan interpreter informasi sehingga pengaruh media massa terhadap khalayak tidak langsung melainkan melalui perantara atau pihak ketiga.

Di era digital Indonesia, kedua model komunikasi massa ini masih sangat relevan. Namun, membutuhkan beberapa penyesuaian. Media massa digital telah mempermudah akses informasi bagi khalayak, sehingga model satu tahap semakin terlihat jelas. Khalayak dengan bebas dapat mengakses informasi dari berbagai sumber tanpa harus melalui media massa tradisional. Akan tetapi, model dua tahap juga masih memainkan peran penting. Di media sosial, terdapat figur-figur yang dikenal sebagai influencer yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pengikutnya. Influencer ini dapat bertindak sebagai pemuka pendapat (opinion leader) dan menyebarkan informasi kepada khalayak secara luas serta bisa dengan mudah mengubah atau membentuk opini publik terhadap sesuatu hal.

Model Komunikasi Massa pada Kampanye Pemilu 2024 di Indonesia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ardian Roland T. Mappala dan Dr. Alfian Hamdi, strategi komunikasi massa yang dilakukan dalam kampanye Pemilu 2024 di media sosial. Hasil penelitian menujukkan bahwa baik model satu tahap maupun dua tahap masih relevan di era digital ini. Pada kasus ini, model satu tahap terlihat dalam hal kandidat dan partai politik menjangkau pemilih melalui platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Mereka menggunakan berbagai konten kreatif seperti video, infografis, dan meme untuk menarik perhatian dan menyampaikan pesan kampanye.

Adapun model dua tahap juga dapat dilihat dari para influencer media sosial dengan jumlah pengikut yang besar dilibatkan sebagai pemuka pendapat untuk menyebarkan pesan kampanye. Konten influencer di media sosial seperti endorsement,ulasan program, dan testimoni dimanfaatkan untuk menjangkau khalayak secara luas. Influencer membangun kepercayaan dan hubungan personal dengan pengikutnya sehingga kampanye lebih mudah diterima. Namun, penggunaan influencer dalam kampanye politik juga menimbulkan kontroversi. Ada kekhawatiran bahwa influencer dalam kampanye politik dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau mengandung ujaran kebencian.

Ilustrasi Influencer sebagai opinion leader. Sumber : pexels.com
Ilustrasi Influencer sebagai opinion leader. Sumber : pexels.com

Belajar dari Pengamatan : Model Komunikasi Massa yang Relevan

Berdasarkan kasus diatas, dapat dilihat bahwa kedua model komunikasi massa masih relevan pada saat ini di Indonesia termasuk model komunikasi dua tahap. Namun, model komunikasi dua tahap perlu diinterpretasikan dengan mempertimbangkan peran influencer media sosial. Penggunaan influencer sebagai pemuka pendapat (opinion leader) harus dipastikan membawa informasi yang akurat dan tidak menyesatkan sebelum akhirnya disebarluaskan. 

Platform media sosial juga perlu memiliki regulasi yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan influencer untuk tujuan politik. Selain itu, perlu diigatkan bahwa khalayak di era digital tidak lagi bersifat pasif. Khalayak memiliki kemampuan untuk menyaring atau memfilter dan menginterpretasi informasi dari berbagai sumber. Media massa dan influencer perlu memahami hal ini dan menyesuaikan strategi komunikasi mereka agar lebih efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun