Dari zaman manusia pertama ada dimuka bumi ini hingga zaman tekhnologi mutakhir saat ini, sunatullahnya air adalah mengalir dari dataran tinggi menuju dataran rendah. Mau dibendung dengan bendungan secanggih apapun hanya akan memperlambat proses mengalirnya saja.
Duo pemimpin DKI Jakarta kini terlihat gusar mengingat persoalan banjir kini berada dipundak keduanya untuk segera ditemukan titik penyelesaiannya. Tentunya tak akan datang dalam sekejap solusi atas permasalahan banjir tersebut. Patut dicermati pula bahwa upaya untuk menanggulangi banjir seperti menyulap beberapa waduk terbebas dari pemukiman liar dan di ubah menjadi kawasan hijau bukan sebagai terobosan sangat berarti bagi terbebasnya Jakarta dari banjir.
Mengingat bahwa Jakarta adalah daerah yang rendah, mau tidak mau, suka tidak suka, air yang berasal dari daerah-daerah seperti Bogor dan Depok akan selalu mengalir menjalani sunatullahnya. Menyalahkan daerah-daerah tersebut sebagai biang kerok terjadinya banjir Jakarta adalah sebuah sikap yang tidak bijak. Itu artinya tidak memahami dan tidak mau menerima atas takdir sebagai daerah rendah, yang pasti akan menerima banjir kiriman dari daerah manapun yang lebih tinggi.
"Air lu itu buangnya ke Jakarta, kalau buangnya kelangit sih gak masalah" (Ahok)
Bukti tidak terima dengan takdir Jakarta sebagai daerah rendah adalah dengan keluarnya kalimat bernada mencemooh yang dikeluarkan oleh Ahok saat diwawancarai reporter detiktv.
Rasanya energi akan terkuras lebih  banyak dengan memulai mencontohkan "tawuran ala birokrat" dengan pernyataan tersebut. Bukankah ada mekanisme yang lebih elegan dan tidak terkesan sok jagoan, yaitu dengan menyurati Walikota Depok atas rencana untuk membeli beberapa wilayah di bantaran sungai Depok sebagai daerah resapan.
Karena persoalan banjir Jakarta erat kaitannya dengan wilayah lain maka, sudah semestinya ada sikap saling pengertian dan saling membantu bukan dengan menyerang satu sama lain. Bisa repot urusan jika kemudian timbul sikap masa bodoh dari wilayah yang dianggap dan dituduh sebagai biang kerok tersebut. Rakyat tentu tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Masih banyak cara yang bisa diambil dengan kepala dingin, karena tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara yang baik dan tenang. Kemarahan hanya akan menghasilkan malapetaka dan tumbuh sikap yang tidak mau menyadari dan mengoreksi kelemahan yang dimiliki.
Terkait dengan masalah banjir yang selama ini menghantui kota Jakarta, apakah sudah menghitung benar dan menyadari bahwa tanah resapan yang ada sudah sebanding dengan volume air hujan atau air yang mengalir  ke Jakarta?. Karena kabarnya air yang mampu diserap oleh tanah Jakarta hanya 25%nya saja. Apakah pembangun gedung tempat tinggal dan usaha di Jakarta sudah sesuai izin atau malah banyak yang melanggar IMB?. Bila kedua persoalan tersebut, yaitu masalah daerah resapan dan izin pembangunan gedung masih banyak masalahnya, maka dibenahi dahulu persoalan tersebut. Bukan dengan mencari-cari kesalahan dan mengkambing-hitamkan pihak lain.
Bukankah Jakarta sedang dalam pelaksanaan pembangunan ribuan sumur resapan?, maka selesaikan dahulu!.
Menyadari bahwa Jakarta memiliki kelemahannya karena berada didataran rendah, harusnya terobosan yang dilakukan dalam pembangunan gedung-gedungnya dengan mempertahankan sebagian besar tanah tetap  sebagai daerah resapan, yaitu dengan membangun gedung atau rumah panggung. Pemerintah propinsi DKI Jakarta harus menjadi pelopornya, yaitu dengan membangun model gedung pemerintahan yang tetap mempertahankan tanah resapan air.
Jadi selama sunatullah air mengalir itu masih tetap, maka dataran rendah dimanapun berada akan dilaluinya. Air yang mengalir ke langitpun oleh proses penguapan membentuk awan hujan akan kembali ke bumi. Menjadi bijak adalah pilihan yang harus diambil dalam mengatasi permasalahan banjir ini. Semoga anda berdua (Duo pemimpin Jakarta) mampu memberikan yang terbaik bagi warga Jakarta dan diberikan kekuatan untuk mewujudkan Jakarta bebas banjir.