Jalan Braga yang Berubah dari Masa ke Masa
Jalan-jalan ke Kota Bandung rasanya belum afdol kalau tidak melintasi Jalan Braga yang penuh historis. Jalan Braga yang dikenal sejak masa Hindia Belanda ini panjangnya tidak lebih dari satu kilometer (kira-kira 800 meter). Kawasan Braga sendiri awalnya dikembangkan oleh Burgemeester (Walikota) B. Coops (1917-1928) untuk menjadi kawasan bisnis elit, bergengsi dan terkemuka di masa itu.
Ciri khas Jalan Braga yaitu disisi kiri dan kanannyaterdiri dari bangunan tua bergaya arsitektur barat (art deco). Jalan yang kini menjadi ikon Kota Bandung ini, seringkali dipergunakan untuk festival musik atau seni.
Nama Braga sendiri mempunyai beberapa arti. Menurut Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, kata “Braga” diambil dari nama “kelompok Tonil Braga” yang terkenal dimasa itu. Bagi masyarakat Sunda nama Braga diambil dari kata “Ngabaraga” yang artinya berjalan-jalan di Jalan Braga.
Disepanjang Jalan Braga, kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan remaja ABG berbeda-beda sesuai dengan masanya, antara lain:
1.Dalam masa Hindia Belanda di Bragaweg (Jalan Braga) dipergunakan untuk pawai atau iring-iringan “sinyo dan nonik” untuk memamerkan kekayaan dan kekuasaannya di depan warga pribumi yang hidupnya terjajah dan melarat.
2.Bagi masyarakat tahun 1950-an menjadikan kawasan Braga sebagai tempat untuk berbelanja dan mencari barang-barang bermutu dan berkualitas yang berasal dari luar negeri.
3.Bagi ABG tahun 1980-an, dipergunakan untuk jalan-jalan sambil menikmati musik kecapi dan harmonika yang dilantunkan “Braga Stone” alias Supeno tuna netra yang mangkal disudut Jalan Braga.
4.Bagi ABG masa kini, Jalan Braga dipergunakan untuk jalan-jalan sambil berfotoria bergaya narsis di sepanjang trotoar untuk menikmati Braga tempo doeloe.
Kini, Jalan Braga yang menjadi ikon kota kembang, denyutnya bergerak sepanjang hari hingga sepertiga malam. Hal yang membedakan Jalan Braga tempo dulu dengan masa kini adalah dipasangnya “Parkir Prabayar” di trotoar Jalan Braga.
Konsep “Parkir Prabayar” ini dicetuskan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil, selain untuk menertibkan perparkiran yang semrawut di Kota Bandung, juga untuk meningkatkan pendapatan / retribusi daerah dari perparkiran.
Adanya konsep ini, memberi kejelasan tarif bagi pengendara yang memarkir kendaraannya, karena sudah ada daftar tarif dan jam lamanya parkir di stiker yang tertempel.
Bagi petugas parkir tidak lagi “memungut dan menyetor” uang semaunya, tetapi uang langsung dapat “dikontrol” oleh dinas perparkiran pemerintah daerah, sehingga tidak ada pungli dan meminimalisir kebocoran.
Namun siang tadi saya melintas di Jalan Braga yang padat dan macet, sepintas saya melirik mobil yang cukup mewah akan meninggalkan tempat parkir.
Di tepi trotoar terlihat petugas parkir berseragam sedang duduk menikmati secangkir kopi. Melihat mobil akan meninggalkan tempat parkir dengan sigap dia menghampirinya. Pengemudi mobil juga mengetahui “kewajibannya”, lalu membuka kaca dan mengeluarkan selembar uang untuk membayar parkir. Petugas parkir dengan cepat mengambil “bayaran” dan memasukkannya dalam tas pinggang tanpa memberi karcis parkir. Saya tidak paham, apakah alat parkir mirip kotak pos yang berdiri tegak di tepi trotoar benar-benar menjadi alat ukur atau tidak.
Investasi pembuatan kotak parkir menggunakan uang dari pajak rakyat. Mudah-mudahan alat ini benar-benar bermanfaat dan dapat dipergunakan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Keindahan sejarah Jalan Braga semoga tidak dikotori oleh “pungli kecil” yang dilakukan oleh petugas parkir.
Kalau korupsi “mewabah” dari pejabat tinggi negara sampai dilakukan oleh “petugas bawah”, ini menandakan bangsa kita memerlukan revolusi mental bagi seluruh elemen masyarakat.
Selamat Malam Minggu. Selamat Jalan-jalan di Jalan Braga Bandung. Salam Kompasiana !!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI