Pagi tadi sewaktu membaca Klinik Fotografi asuhan Arbain Rambey di Harian Kompas ada hal menarik yang perlu disimak dalam memahami sampah fotografi. Memotret sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan hasil pemotretan sebenarnya adalah perbuatan yang "tidak hijau" alias tidak ramah lingkungan.
Di era digital pemborosan dalam pemotretan adalah pemborosan energi listrik dan lebih jauh membuat keusangan yang lebih cepat pada alat-alat yang dipakai untuk memotret. Sampah kamera, baterei dan perlengkapannya adalah barang-barang yang tak bisa terdaur ulang secara alamiah, bahkan cenderung mengandung bahan yang berbahaya bagi lingkungan. Pun, kertas foto sulit terurai, bahkan mengandung zat-zat yang sedikit banyak beracun.
Saat traveling membawa kamera seringkali aku asal menjepret jika melihat alam dan lingkungan sekitar yang kuanggap menarik. Karena menggunakan kamera digital kita dapat menjepret sebanyak-banyaknya, bila gagal atau hasilnya kurang bagus, gambar bisa langsung dihapus. Bayangkan jika menggunakan kamera analog tentu tidak bisa melakukan hal seperti itu. Padahal secara tidak sadar memotret sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan hasil  telah menciptakan sampah fotografi, seperti menguras baterei, pemborosan energi, memenuhi folder dan lain sebagainya.
Tempo hari dalam perjalanan di udara menggunakan pesawat ATR Propeler 7 (tujuh) seat  di atas samudera hindia pemandangan cukup indah. Tak kusadari kamera ditanganku menghasilkan ratusan jepretan sampah fotografi, baterei kamera terkuras dan memory full. Hasil jepretan ku lumayan banyak. Dari atas burung besi dapat memotret lautan samudera, awan putih dan pemandangan indah sejauh mata memandang.Â
Di bawah ini sebagian  "sampah" fotografi hasil jepretan yang tersimpan di folder ku.
Sekilas catatan perjalanan.
Salam malam. Salam 00:00.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H