Disebut Goa  Kacamata karena dari kejauhan bentuknya selintas  mirip seperti kacamata yang menempel di dinding bukit berbatu dengan diameter lubang berukuran 2 (dua) meter. Goa buatan  ini terbentuk ketika di awal tahun 1900-an dilakukan eksploitasi pertambangan di Lebong. Lubang raksasa ini merupakan sisa-sisa aktivitas penambangan emas yang dilakukan oleh kolonial Belanda di masa lalu, karena emasnya sudah habis maka kini dijadikan obyek wisata alam.
Dari catatan sejarah masa lalu, sebelum hengkang dari bumi nusantara, perusahaan tambang Belanda mengeruk emas dan perak ratusan ton dari tanah Lebong. Kekayaan milik bumi pertiwi ini diangkut dan dijual ke luar negeri oleh penjajah, di satu sisi masyarakat lokal tetap hidup miskin dan hanya menjadi buruh dan budak kaum imperialis dan kapitalis. Di masa kejayaan tambang emas, setiap penambang yang keluar dari goa kacamata diberi ganti pakaian baru karena konon emasnya menempel di pakaian yang dipakai.
Pasca ditinggal pemerintahan kolonial Belanda, penambangan emas dilanjutkan oleh masyarakat setempat dengan cara tradisional. Habis manis sepah dibuang, begitulah kata pepatah. Tambang emas habis dikeruk, dan akibat ulah manusia, kini areal bekas tambang tersebut menyisakan kerusakan lingkungan alam yang cukup parah.
Kini sisa-sisa peninggalan galian tambang emas oleh pemerintah daerah setempat diupayakan menjadi daya tarik wisata sejarah masa lalu. Namun untuk menjadi obyek wisata yang potensial masih jauh dari harapan karena sarana dan infrastruktur pendukungnya sangat tidak memadai untuk disebut sebagai kawasan wisata. Alih-alih menikmati lingkungan alam yang indah, pengunjung kawasan wisata alam goa kacamata hanya mendapatkan tontonan kisah pilu kemiskinan dan perbudakan masa lalu.
Saat berada di kawasan ini, rasanya miris karena melihat warga sekitar hanya menjadi buruh atau pekerja yang dieksploitasi untuk mengambil tambang emas. Hasil dari bongkahan batu atau tanah yang akan diolah sudah ditunggu untuk dibeli oleh cukong-cukong. Dari obrolan dengan penambang emas, diperoleh informasi bahwa hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan dari hasil menambang berbulan-bulan kadangkala tidak mendapatkan hasil apapun.
Padahal untuk menambang emas, penambang  harus turun ke lubang sumur dan masuk ke dalam perut bumi yang kedalamannya mencapai 50 meter dari atas permukaan tanah. Risiko nyawa menjadi taruhan penambang tradisional yang hanya bermodalkan peralatan sekedarnya, seperti tambang, palu, paku, karung dan lampu senter.
Sobat kompasianer, sekali-sekali tengoklah wisata alam goa kacamata di Lebong sambil mengenang sejarah kelam masa lalu agar tidak terulang kembali!