(Cerpen mengenang Tsunami)
* * *
Hari terakhir di penghujung tahun.
Suara penjual koran langganan terdengar. “Pak … korannya, Pak!”
Lelaki usia kepala lima, yang tengah duduk di ruang tamunya, menyahut sambil lalu. “Iya, lempar saja di depan.”
Brak! Suara koran yang jatuh karena dilempar terdengar.
Malas-malasan, lelaki itu beranjak dari duduknya. Ada helaan nafas yang menghantarnya melangkah. Ia jadi suka cepat lelah meskipun hanya duduk-duduk saja. Usianya yang terus bertambah mungkin penyebabnya.
Koran diambilnya. Lelaki itu kembali melangkah ke dalam dan duduk di ruang tamu. Melebarkan lembaran koran. Sejurus kemudian, matanya tak berkedip melihat halaman satu koran sore itu.
Ada nestapa di dalam hatinya. Seketika tubuh setengah abad itu gemetar ketika melihat foto yang memuat berita terakhir korban bencana alam akibat gempa dan tsunami. Hatinya begitu miris menyaksikan foto-foto korban bencana. Ada yang tersangkut di dinding pagar, ada yang tertindih puing-puing bangunan, ada yang … ah, siapa yang kuat hati menyaksikan ribuan mayat-mayat bergeletakan. Di darat, di pantai, dan di mana-mana. Yang lebih terasa, mayat-mayat itu pun bergeletakan di hati setiap orang. Lebih-lebih di halam hati lelaki itu.
Ya Tuhan … sebegitu banyakkah dosa-dosa yang kami lakukan, sehingga teguran yang Engkau kirimkan begitu teramat berat kami rasakan, gumam hati lelaki itu. Ia tak tahan lagi menahan harunya. Kristal-kristal bening pun melaburi bola matanya.
Dilihatnya jam di dinding ruangan, menunjukan pukul 17.05 menit. Di jalan-jalan, di tempat-tempat hiburan, orang-orang sudah mempersiapkan hajatan besar tahun baruan. Tradisi menyambut tahun baru yang sudah membudaya; pasang kembang api, tiup terompet, dan konpoi di jalan bersama-sama. Namun ada yang beda pada perayaan tahun baru kali ini. Serempak di seluruh pelosok Indonesia, mungkin juga dunia, menyambut tahun baru kali ini dengan keprihatinan dan belasungkawa yang sangat mendalam terhadap bencana gempa dan Tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Pemerintah pun mengumumkan berkabung nasional. Acara-acara hiburan dalam rangka menyambut tahun baru yang sudah dirancang jauh-jauh hari dialihkan menjadi acara keprihatinan.
Detik dan menit terus berlalu.
Lelaki itu masih duduk di bangku, tangannya memegang koran, matanya memandang gambar-gambar para korban bencana dengan tidak ada kedipan. Ia jadi seperti berada di sana, di lokasi kejadian, di dekat para korban.
“Semoga, arwah para korban di terima dengan tenang di sisi-Mu ya Tuhan…” gumam lelaki itu. Ia lalu beranjak dari duduknya, menyimpan koran di sebuah tempat dalam satu kamar. Ribuan koran ada di sana. Ia memang sengaja menyimpannya, karena menurutnya, berita-berita dalam surat kabar itu adalah monumen yang perlu dirawat.
“Tumpukan berita-berita dalam koran itu akan menjadi jejak langkah buat anak cucu kita. Ia akan menjadi lembaran sejarah yang tinggal dipilah-pilih. Mau ekonomi, sosial, politik, atau budaya, silahkan dibuka. Semuanya ada disini,” begitu katanya, ketika seorang sahabat yang pernah datang ke rumahnya menganjurkan untuk mengkilokan tumpukan koran-koran itu.
“Tapi kamu kan tidak berkeluarga, bagaimana bisa memiliki anak cucu. Jadi, sia-sia saja dong kamu menyimpan koran-koran itu,” kata si kawan.
Lelaki itu tertegun mendengar pernyataan kawannya. Dan kalimat itu, ketika diingatnya sekarang, menimbulkan pertanyaan besar. Benarkah saya tidak memiliki anak cucu? Kenapa para korban mencana alam yang ada di Aceh dan Sumatra Utara itu saya rasakan seperti anak saya, seperti cucu saya.
“Jadi … jual sajalah sampah kertas itu,” kata si kawan melanjutkan. “Toh pemerintah juga sudah memiliki perpustakaan. Setiap instansi juga mungkin punya perpustakaan. Bahkan di sekolah taman kanak-kanak pun punya perpustakaan. Jadi buat apa lagi kamu mengumpulkan sampah-sampah itu. Apa lagi sekarang ini sudah era teknologi. Mau cari tahu apa saja, tinggal buka internet, klik – keluar informasi yang kita perlukan.”
“Cukup!” potong lelaki itu. “Saya tidak perlu ceramah yang berkepanjangan. Ini barang saya, dan tolong hargai saya untuk tidak menuruti kehendak kamu. Kamu teman baik saya, tetapi bukan berarti kamu bisa melakukan apa saja.”
Pertengkaran kata-kata dari hal sepele itu, membuatnya menangis ketika kembali dikenangnya sekarang. Masalahnya kawan baiknya itu adalah orang Aceh, yang mungkin keluarganya, atau sanak familinya saat ini menjadi salah satu korban bencana alam.
Sore telah beranjak malam.
Lelaki itu membuka pintu depan, di lihatnya orang-orang sudah memenuhi jalan. Ia menutup pintu, dan mengoncinya. Lalu melangkah menyusuri jalan, membaur dengan orang-orang kebanyakan, yang tumpah ruah di mana saja untuk menyambut tahun baru yang akan datang.
Konpoi ribuah orang dan kendaraan terlihat di sepanjang jalan. Lelaki itu satu dari jutaan orang yang turut turun ke jalan. Dan itu tradisi akhir tahun yang juga ia lakukan. Berkumpul dengan kawan, teman baru, atau berpesta pora di acara-acara hiburan.
Tapi merayakan tahun baru kali ini ia rasakan begitu beda. Karena itulah ia menolak berkumpul dengan kawan-kawan, atau datang ke tempat hiburan. Menyambut tahun baru kali ini, ia ingin melangkah ke mana saja, yang jelas di dalam hatinya selalu dikomandangkan doa untuk saudara-saudara kita korban bencana alam. Ia dzikir di sepanjang jalan. Mungkin juga bukan hanya ia sendiri. Karena dzikirnya cukup di dalam hati.
Melewati tempat sebuah bongkaran, ia mendengar suara tangisan anak kecil. “Mak … belikan boneka Dora, Mak. Emakkan janji mau beliin.”
“Iya, tapi kalau Emak dapat banyak langganan, pasti Emak belikan.”
“Minta belikan saja sama bapak …”
“Hus! Bapak kamu banyak, jangan bicara seperti itu.”
Lelaki itu sempat menoleh ke arah percakapan anak beranak itu. Ini pun sebuah bencana sosial, pikirnya. Lalu ia pun berdzikir mendokaan anak beranak itu.
Di tempat lain, di sepanjang perjalanan, lelaki itu sempat mendengar percakapan sepasang suami istri yang mengeluhkan kebutuhan hidup yang terus meningkat, sementara penghasilan tidak ada peningkatan.
“Semoga tahun baru ini ada perubahan ya, Bu …” kata si suami kepada istrinya. Si istri menjawab dengan anggukan.
Kalau tidak ada perubahan, juga merupakan bencana buat orang-orang seperti sepasang suami istri itu, guman lelaki itu. Ia kembali berdzikir mendoakan sepasang suami istri itu.
Di tempat lainnya lagi, ia mendengar keluhan orang-orang penganguran yang berharap tahun baru ini bisa mendapat kerjaan. Lalu di tempat lainnya lagi, ia juga mendengar keluhan tentang meningkatnya tindak kriminal; perkosaan, perampokan, perkelahian, dan kejahan yang dilakukan para kerah putih.
Lelaki itu semakin khusus berdzikirnya. Berdoa untuk itu semua, semoga ada perubahan yang lebih baik untuk masa depan. Karena apa yang didengarnya di sepanjang jalan itu, merupakan bencana-bencana dalam bentuk lain dari apa yang telah terjadi di Aceh.
“Tuhan … terlalu banyak bencana yang terjadi di negeri ini…” gumam lelaki itu, yang sudah entah berapa jauh melangkah dalam dzikirnya.
Pukul 00.00, di jalan-jalan terdengar sorak sorai dan bunyi terompet menyambut tahun baru. Lelaki itu menengadah ke atas langit. Langit cerah dengan jutaan bintang. Tapi hati lelaki itu terasa kelam dengan bencana yang ada di mana-mana; bencana alam, bencana sosial. Dan bencana lain dalam bentuk prilaku dan pikiran. Lelaki itu kembali berdzikir dan mendoakan itu semua, semoga ada perubahan ke arah yang lebih baik lagi.
Usai berdoa, lelaki itu teringat sesuatu, berita dalam surat kabar pagi ini nampaknya akan menarik. Surat kabar tentu akan memuat apa yang ditemui lelaki itu tadi malam. Tentang bencana-bencana yang begitu padat disetiap sendi kehidupan. Lelaki itu berharap, semoga surat kabar itu memuatnya, karena kalau hal itu tidak diberitakan, tentu akan menjadi bencana yang lebih besar.
Ketika sampai rumah, ternyata koran langganannya sudah berada di halaman depan. Tetapi betapa terkejutnya lelaki itu, karena tidak ada berita apa pun yang dimuat dalam lembaran koran itu. Hanya warna hitam di lembar kanan, dan lembar putih di lembar kiri.
Lelaki itu kepalanya dijejali pertanyaan besar. “Apa-apaan ini?” bentaknya, tidak kepada siapa-siapa.
Tetapi di lembar tengah halaman koran itu tertulis sebuah kalimat; “Kepada pelanggan dan pembaca setia surat kabar. Satu tahun sudah kita lewati hari-hari kita dengan berbagai berita dari sekian banyak peristiwa. Dan awal tahun ini, kami tidak mau mengawalinya dengan berita yang tertulis di lembar koran langganan Anda. Kami pun ingin menjadi pembaca, membaca gejala alam di sekita kita. Oleh karena itu, mari kita membaca bersama tentang tanda-tanda yang sudah dituliskan-Nya. Agar kita terhindar dari bencana-bencana yang selama ini datang kepada kita.”
Lelaki itu, kembali gemetar memegang surat kabar di tangannya. Kata-kata yang tertulis di tengah lembar halaman koran itu, telah membuatnya menggigil. Jangan-jangan, bencana yang selalu menimpa bangsanya, karena kurangnya kita membaca tanda-tanda yang sudah dituliskan-Nya.
“Ya Allah … ampunilah segala dosa-dosa kami,” doanya, sambil berlinangan air mata.***
Blora Center, Minggu pertama 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H