Seharusnya bersyukur...
NB dan FT, dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap siswa TK, memperoleh keputusan bersalah dan harus mendekam di penjara selama masing-masing 10 tahun ditambah denda 100 juta rupiah. Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) menyatakan bahwa peristiwa ini hendaknya menjadi pelajaran bagi para calon pelaku.
Kita semua seharusnya bersyukur dengan keputusan Hakim tersebut. Akan tetapi sebagai pengamat, aktivis, dan pengajar mata kuliah Child Abuse di Fakultas Psikologi, saya justru merasa sangat gundah dengan proses penyelesaian, termasuk proses peradilannya. Saya sangat khawatir bahwa kasus ini bukan contoh best-practice, tetapi contoh terburuk dari upaya-upaya mencari keadilan dan melindungi kepentingan terbaik bagi anak.
Berikut ini akan saya uraiakan beberapa kejanggalan berdasarkan pengamatan terbatas dan catatan dari berita yang terpublikasi maupun beberapa informasi yang diperoleh dari sumber-sumber terpercaya yang tidak dapat saya sebutkan.
Kesulitan untuk obyektif
Terungkapnya kasus sodomi yang dilaporkan oleh orangtua siswa TK (MAK - 6th) pada berbagai pihak penegak hukum maupun lembaga negara lain (KPAI) merupakan salah satu berita nasional yang paling menghebohkan di tahun 2014. Hampir semua media massa nasional di Jakarta memberitakan peristiwa ini dan reaksi publikpun meggelora. Sebuah sekolah internasional (baca: asing), kaya, representasi negara kapitalis, ternyata menjadi sarang penjahat seksual. Paling tidak, pesan ituah yang mengalir dari berbagai media.
Emosi publik pun diaduk-aduk oleh berminggu-minggu berita yang sama sehingga terbentuk obyek kebencian publik bukan hanya terhadap perilaku, tetapi terhadap institusi dan apapun yang direpresentasikan oleh JIS. Berbagai diskusi di media sosial, termasuk di antara profesional yang dikenal penulis, sama panasnya dan penuh kebencian. Dalam reaksinya mereka lupa bahwa anak-anak yang tidak menjadi korban tetapi bersekolah di lembaga itu ikut memperoleh teror dengan kehadiran wartawan di sekolah, kelompok-kelompok massa yang galak dan meneriakkan kebencian, melempar benda-benda ke sekolah, serta tayangan-tayangan berita yang diambil di halaman atau sekitar sekolah. Bahkan Presiden Yudhoyono pun terpaksa menggelar rapat kabinet terbatas untuk meluncurkan Perpres untuk menangani kekerasan seksual terhadap anak.
Tampaknya publik merasa bahwa kali ini ada obyek yang dapat disalahkan tanpa ikut berdosa karena obyek ini “bukan kita”. Sikap publik berbeda ketika terkuak kasus sodomi terhadap lebih dari 125 anak di Sukabumi – jumlah korban yang fantastis ini tidak dapat menandingi aura kasus JIS. Dalam kasus Sukabumi pelaku mengakui perbuatannya dan secepatnya memperoleh keputusan peradilan. Pelakunya adalah bagian dari “kita” dan kelalaian yang menyebabkan jatuhnya korban “sebagian adalah tanggung jawab kita”.
Sikap yang lebih toleran terhadap kasus Sukabumi hanya merupakan fenomen permukaan. Kemarahan publik karena berulang kali gagal dalam melindungi anak dari predator seksual ini mendapatkan muara pengalihan baru, yaitu JIS. Dengan suasana batin yang emosional seperti ini, maka penyidikan terhadap kasus ini cenderung bias. Sebuah TV swasta harus meminta maaf karena tuduhan yang tidak berdasar tetapi warna beritanya tidak berubah. Polisi, jaksa, dan hakim mau-tidak mau harus mendengarkan suara publik ini dan reputasi mereka akan diukur dari apakah mereka mampu memenuhi harapan publik itu. Standar kerja profesional – hanya Tuhan yang tahu.
Inilah pangkal dari berbagai kejanggalan yang terjadi selanjutnya dalam proses penyidikan dan pemeriksaan atas perkara yang akhirnya melebar melibatkan dua orang guru yang sekarang harus mendekam di penjara. Keluarganya menderita aib dan penderaan sosial-psikologis yang luar biasa dan tidak pernah dianggap sebagai pihak yang juga berhak atas perlindungan hukum. KPAI dalam upayanya memperoleh legitimasi publik, melupakan bahwa kepentingan anak terbaik yang mereka bela adalah kepentingan semua anak di semua pihak.
Keadilan selektif
Saya tidak tahu apakah istilah “keadilan selektif” ini dapat digunakan dalam menggambarkan penanganan kasus JIS. Dalam proses penyidikan dan pemeriksaan tersangka dan korban, hanya disajikan bukti-bukti yang “dipaksakan” sebagai bukti-bukti relevan untuk memenuhi kebutuhan tuduhan sehingga berakhir dengan simpulan yang diharapkan yaitu terdakwa bersalah.
Pertama, kasus kematian terdakwa A – karyawan PT. ISS yang bekerja di JIS. Dari 6 saksi terdakwa karyawan JIS ada satu yang meninggal dunia – diperkirakan karena tekanan fisik selama pemeriksaan karena dari foto-fotonya terdapat lebam-lebam dan luka fisik dan tidak ada bukti-bukti keracunan seperti diberitakan. Kekerasan itu juga tampak pada fisik terdakwa lainnya. Tetapi sistem peradilan kita tidak memperoleh tekanan samasekali mengenai cara-cara memperoleh kesaksian yang digunakan sebagai bukti memberatkan tersangka. Persoalan pelanggaran etika tidak pernah diajukan oleh berbagai pihak yang berperkara. Lebih dari itu, tidak semua saksi meringnkan dari tergugat dihadirkan dalam persidangan.
Kedua, hakim dan jaksa penuntut tidak pernah menguji integritas kesaksian saksi korban. Berbagai literatur memang menunjukkan bahwa anak mampu memberikan keterangan yang dapat dipercaya, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa anak juga sangat rentan terhadap tekanan dan sugesti otoritas (orangtua guru, polisi, dll.) sehingga dapat terjadi ingatan yang ditanam (false memory) melalui instruksi dan sugesti.
Menerima semua kesaksian mereka apa adanya adalah terlalu naif, apalagi jika itu menentukan hidup orang lain. Bukti administratif bahwa ada beberapa karyawan yang didakwa atas penunjukkan foto oleh anak korban ternyata tidak berada di tempat ketika peristiwa yang diceriterakan terjadi. Rekaman rekonstruksi yang menunjukkan saksi korban diinstruksikan oleh orangtua dan polisi untuk melakukan tindakan tertentu dan difoto, terlihat sedang bermain-main – tidak seperti anak yang mengalami trauma. Jika kuasa hukum terdakwa mempertanyakan integritas saksi karena rekonstruksi yang dikoreografi, akan terlihat bahwa bukti-bukti itu tidak dapat digunakan dalam pembuktian. Tetapi hal-hal seperti ini dilewatkan begitu saja.
Ketiga, bukti-bukti baru dilalaikan. Bukti medik dari RS di Singapura yang secara profesional dianggap lebih robust (akurat). Hal yang sama terjadi dengan bukti-bukti medico-legal sebelumnya dari lembaga-lembaga seperti SOS, RSPI dan RSCM yang dilakukan oleh ahli-ahli forensik nasional terkemuka – tidak ditemukannya bukti kekerasan seksual, tidak diacuhkan. Yang dianggap benar bahkan hanya pemeriksaan di sebuah RS yang metodenya dipertanyakan sebagai cara yang akurat. Tetapi bukti dari RS ini memberikan apa yang diinginkan publik. Tentu banyak orang bertanya, mengapa demikian.
Persoalan JIS belum akan selesai dengan pemenjaraan NB dan FT karena masih ada lanjutan perdatanya. Keempat, adanyanya tuntutan perdata yang luar biasa besarnya, yaitu 125 juta dollar. Jika perkara ini diteruskan dengan kemenangan penuntut, maka JIS akan bangkrut. Jika itu terjadi, maka terjadi perampokan hak-hak dasar anak-anak yang bersekolah di lembaga itu atas nama hukum.
Membangun citra hukum
Sistem hukum dan peradilan di Indonesia memang sering dikritik korup dan tidak menjamin keadilan. Yang kuat, berduit, berkuasa, yang memilki keadilan. Mereka yang lemah, miskin, dan saat ini mungkin “asing” tidak perlu diperhatikan rasa keadilannya. Mereka yang memperjuangkan HAM sering dibuat malu oleh kualitas hukum dan implementasinya di negeri yang berazaskan ketuhanan dan keadilan sosial. Sebenarnya sangat diharapkan bahwa kasus seperti JIS yang digunakan untuk menguji interitas profesi hukum dan sistem peradilan kita. Sayang sekali, tampaknya belum akan terjadi.
Bahwa tekanan publik ada dan berpengaruh, itu keniscayaan sosiologis. Tetapi menerapkan hukum hanya untuk memuaskan publik saja tentu salah besar. Harga dan martabat satu manusia yang tidak bersalah perlu perjuangkan dengan segala konsekuensinya. Jika satu orang tidak bersalah dengan mudah dikorbankan untuk kepentingan publik – ribuan lainnya menanti menjadi korban. Hukum adalah saftey net kemanusiaan. Jika safety net itu bolong – entah berapa yang akan tergelincir tidak terlindungi. Untuk apa ada hukum dan sistemnya jika tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H