OLEH: IRWANTO
Di kancah politik kita sering mendengar bahwa dinamik di sentra-sentra kekuasaan/politik lebih lucu dari ludruk atau lenong. Dinamik seperti itu bahkan mampu menginspirasi penulis skenario atau dialog-dialog lepas dalam berbagai acara hiburan di layar kaca. Apakah komentar seperti itu sekedar metafora atau kita memang benar-benar hidup dalam Republik Lenong?
Humor diciptakan dengan merancang edegan-edegan yang menyalahi semua aturan. Semua serba tidak pas, baik dari segi timing, fungsi, urutan, dan sebagainya. Mis-match inilah yang membuat penonton tertawa. Dalam Lenong dan ludruk, hiburan menjadi lengkap dan seru karena ada hubungan langsung antara penonton dan pemain. Menganalogikan kehidupan politik, khususnya penerapan kekuasaan di negeri ini, dengan Republik Lenong memang keterlaluan, tetapi begitulah yang dirasakan.
Kekuasaan dihibahkan oleh rakyat melalui proses politik untuk memberikan rasa aman, melindungi yang lemah dengan menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat yang paling kecil sekalipun, dan memajukan kualitas hidup seluruh warga negara melalui contoh-contoh kependekaran politik, ilmu dan teknologi. Namu apa yang kita lihat dan rasakan saat ini?
Belum lama nenek-nenek yang dituduh mencuri kopi atau seonggok kayu menjadi edegan yang menguras emosi penontonlayar kaca. Pelecehan martabat dan kemanusiaan melalui kekerasan fisik dan seksual anak menjadi suguhan debat aktivis, ahli hukum, dan stasiun TV yang haus popularitas. Rasanya publik masih belum menyaksikan lenong yang lebih seru – sampai minggu ini.
Minggu ini kita disuguhkan adegan seru pemutar balikan langit dan bumi yang dimainkan oleh orang-orang di atas angin. Dewa-dewa yang memimpin negeri ini. Persoalan etika kekuasaan dijadikan bahan lelucun yang tidak lucu tetapi ditonton oleh jutaan pemirsa. Republik yang diacak-acak oleh perampok berdasi dan bergelar ”yang terhormat” dijadikan salah satu pakem punokawan – bak petruk dadi ratu. Yang sangat menarik adalah ketika ultimum stultitiam (ultimate stupidity) ini mengalir lancar di ranah publik, lengan-lengan kekuasaan republik seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK seolah terpana membeku – entah karena lelucon yang begitu lucunya atau karena semua lengan itu tidak konek dengan organ legislatif tempat di mana patogen (virus dan bakteri) itu bercokol.
Memang mengerikan kalau mesin kekuasaan ternyata bukan semangat untuk memberi keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan. Ketika mesin kekuasaan digerakkan oleh ketamakan, egoisme, kehausan akan kekuasaan maka mesin itu akan cenderung bergerak dengan gegap gempita, tanpa arah yang jelas, dan – tergantung ukurannya – semakin besar mesinnya semakin tidak terkendali (baca: tidak dapat dikendalikan). Kekuasaan seperti ini di Republik Lenong lebih parah lagi karena sebagian penonton mengamininya. Mereka tidak bisa tidak bersorak karena itu fungsi mereka. Mereka tidak dapat merusak pakem dengan protes ”Koq ceriteranya begitu?” karena peranan mereka memang penggembira. Partai-partai politik besar di balik Lenong Papa minta Saham, dengan sadar melaksanakan fungsi ini.
Mengaburkan kenyataan pelanggaran etik dengan pelanggaran hukum. Bahkan memperkecil persoalannya di ranah administratif prosedural. Memperkuat kaidah politik di Republik Lenong bahwa pemimpin tidak boleh dan tidak dapat salah. Dewa punya impunitas – rakyat tidak.
Publik yang sadar bahwa mereka disuguhi sebuah lenong politik tidak dapat menghindarkan diri dari semua dampaknya. Berita dari semua media bahkan obrolan di jalanan telah menjadi transmitter – pemancar radio lenong. Meskipun muak, tidak dapat tidak mendengar, melihat, atau membaca. Mereka terjebak dalam sebuah kenyataan politik yang hanya dapat mereka atasi jika mereka memilih wakil-wakil mereka dengan sadar, terinformasi, dan penuh pertimbangan. Hari ini kita memilih pimpinan daerah – semoga ini bagian dari jalan keluar dari kesesakan politik di Republik Lenong. Walau, terus terang saja – saya sendiri tidak percaya bahwa partisipasi politik seturut model kita hari ini memberikan harapan sama sekali.
Bintaro, 9 Desember 2015
*Irwanto - Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya