Mohon tunggu...
indhar wahyu
indhar wahyu Mohon Tunggu... -

flamboyan unemployer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Keaslian” dalam Pilkada: Peluang atau Ancaman?

28 April 2011   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13039558671118664321

Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia memberikan kesempatan bagi sistem pemerintahan yang berbasis lokalitas. Otonomi sekaligus menjadi desentralisasi kekuasaan dalam mengelola kekayaan negara beserta kewajiban pelayanan terhadap masyarakat. Lokalitas yang dikedepankan dalam pengelolaan kekayaan negara tersebut menjadi tumpuan dalam upaya mencapai sasaran kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan kekayaan dan pelayanan masyarakat dalam kerangka Papua, hal ini berlabel “Otonomi Khusus”.

Otonomi khusus diberlakukan di provinsi yang sebelumnya bernama Irian Jaya tersebut sejak tahun 2001 atas dasar Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Pada tahun 2008 terjadi pemekaran provinsi menjadi lima provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah dan Papua Selatan. Dengan demikian kelima provinsi di pulau paling timur Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) tersebut berhak untuk melaksanakan kewenangan yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 21 tentang Otonomi Khusus Papua.

Kewenangan untuk melaksanakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat menjadi sebuah fenomena menarik ketika diwujudkan dalam aturan mengenai calon kepala daerah, dalam hal ini adalah calon gubernur. Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (sebuah Dewan perwakilan setingkat DPRD) merumuskan aturan khusus terkait dengan identitas calon gubernur di provinsi tersebut. Seorang calon gubernur Provinsi Papua Barat akan disyaratkan memiliki genetika Papua. Artinya seorang calon gubernur di provinsi ini harus benar-benar berdarah papua. Bukan semata-mata seseorang yang tinggal atau pernah tinggal atau bahkan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) di provinsi tersebut.

Rancangan UU ini selayak pisau bermata dua. Di satu sisi, rancangan UU ini akan membuka peluang yang besar bagi ‘darah’ Papua untuk menjadi pemimpin di tanah leluhurnya sendiri. Namun di sisi lain, hal ini dari sisi sosial akan menumbuhkan kembali pembedaan-pembedaan ras terutama dalam pemilihan kepala daerah. Pisau bermata dua ini akan menjadi sebuah potensi kekuatan dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat Papua Barat serempak dengan potensi kelemahan yang destruktif bagi keutuhan Provinsi Papua Barat.

Rancangan UU ini didorong oleh keinginan untuk menjadi tuan rumah di tanah leluhur sendiri. Menjadi tuan rumah di tanah sendiri menjadi sesuatu yang penting diperhatikan sehubungan dengan sense of belonging terhadap pengelolaan kekayaan negara demi mencapai kesejahteraan masyarakat. Ide ini menjadi sebuah cita-cita yang patut diperjuangkan dan dicapai. Dengan demikian usulan menjadikan identitas genetika menjadi salah satu syarat untuk menjadi Gubernur provinsi Papua Barat merupakan sebuah capaian gemilang untuk kejayaan di tanah sendiri.

Namun, ada hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam proses pengesahan rancangan UU tersebut. Pembedaan yang dilakukan secara genetika terhadap calon kepala daerah tersebut tidak hanya memberikan imbas pada proses pemilihan kepala daerah saja. Pembedaan ini juga akan menimbulkan dampak pada berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Papua Barat. Pembedaan-pembedaan berdasarkan ras dan genetika akan menjadi sesuatu yang mewarnai kehidupan bermasyarakat. Pembedaan ini secara ekstrim merupakan sebuah ancaman bagi dinamika integrasi masyarakat, dengan kata lain hal ini berpotensi menjadi akar terjadinya konflik yang berlandaskan pada pembedaan ras di Provinsi Papua Barat.

Provinsi Papua Barat seperti provinsi-provinsi lainnya memiliki potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang sangat berpotensi dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pemberlakuan UU Otonomi Khusus dan pemekaran wilayah yang telah dilakukan tidak selayaknya melupakan sasaran utama untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat. Dengan demikian sepatutnya pengesahan berbagai aturan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial dari masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun