Mohon tunggu...
Sri Indhah
Sri Indhah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Filosofi Ki Hajar Dewantara

2 Mei 2015   02:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Mengingat kembali filosofi yang dituturkan oleh sang Pencerah Pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara membuat kita merinding. Sudah sangat terlihat sekarang ini degradasi nilai yang dialami oleh ujung tombak pendidikan. Guru terutama sudah kehilangan esensi sebagai pendidika. Salah satu tuntutan menjadi guru profesional adalah memiliki kreativitas dan seni mendidik (Suyanto, 2013: 5), namun sekarang seni mendidik itu mulai kehilangan ruhnya. Mendidik hanya sebagai kewajiban dan setiap tiga bulan akan mendapat imbalan sertifikasi sebagai guru profesional.

Siswa menjadi objek yang sekedar objek, tanpa memiliki peranan dan hak meminta layanan seni mendidik. Sudah tidak ada lagi siswa yang dengan suka rela membawakan bawaan guru yang berat. Kalau boleh jujur, pasti lebih banyak siswa yang hanya menonton gurunya membawa buku dari pada yang ingin membawakannya. Dongeng keteladanan dari guru pun sangat jarang dilakukan. Bahkan banyak siswa yang lupa nama gurunya setelah lulus dari sekolah tersebut. Sungguh ironi memang, guru yang seharusnya menjadi idola sekarang menjadi momok bagi siswa.

Di televisi sering kita dengar banyak guru yang malah memberikan keteladanan yang negatif kepada siswanya, ada guru yang terkena kasus narkoba, pencabulan dan penganiayaan. Seharusnya guru itu di depan siswanya menjadi teladan yang baik, namun malah sebaliknya. Padahal kita tahu siswa itu ada kecenderungan melakukan pemodelan, atau mengikuti model yang sering dia lihat. Menurut teori kognitif sosial memiliki implikasi dalam dunia pendidikan, diantaranya (Omrod 2012: 137), siswa sering belajar secara sederhana dengan mengamati apa yang di lakukan orang lain. Harapan dari teori ini adalah lingkungan terutama orang tua dan guru diharapkan memberikan contoh perilaku yang positif terhadap anak. Sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang pertama.

Banyak kejadian akhir-akhir ini yang membuat guru ingin menjaga wibawa. Guru ingin selalu dihormati, sehingga banyak dari mereka menjaga jarak dari siswanya. Kalau saya boleh bercerita tentang masa sekolah dasar saya, dulu sekali saya dan teman-teman satu kelas itu bisa bercerita apapun kepada guru. Guru akan selalu menerima semua cerita siswanya dengan suka rela. Tidak jarang guru bergantian bercerita tentang keluarganya atau kerabatnya yang dapat memotivasi kami. Meskipun tidak menyebutkan teori, sekarang saya paham bahwa guru saya itu ingin mengajarkan cerita hidup yang bermakna kepada kami, siswanya. Secara tidak sadar kami termotivasi dengan cerita tersebut. Bahkan kami sampai hafal dengan nama anak-anak dari guru kami. Dan itu menyenangkan untuk kami. Kami merasa dekat dengan guru dengan mengenal siapa saja anggota keluarganya.

Cara yang dilakukan dengan pendekatan siswa sebagai seorang teman dan menerima segala keluh kesahnya memang sangat membantu membangun motivasi. Pada intinya guru tidak perlu menjaga jarak hanya demi kewibaqaan, asalkan kita memiliki sikap yang baik dan memberikan motivasi yang benar tentu kewibawaan itu akan mengikuti. Tidak perlu dibuat-buat. Sekarang ini tidak ada guru yang tidak memiliki kendaaraan yang mewah, tapi apa itu yang dibutuhkan siswa. Bukan, bukan seperti itu yang dibutuhkan siswa. Siswa membutuhkan guru yang memiliki hati untuk mengajar. Bukan sekedar pamer kemewahan di parkiran sekolah atau pamer perhiasan yang dipakai di badan.

Di kantor misalnya, pembicaraan guru pasti berkisar apakah sertifikasi sudah cair atau belum. Jarang sekali membicarakan perkembangan siswanya. Apa ada yang salah dengan teknik sertifikasi, sehingga malah membuat guru-guru kita terlena? Entahlah, jawaban itu mungkin sedikit bisa saya simpulkan bahwa etos kerja menurun, dikarenakan kesejahteraan guru kurang, dan kebutuhan hidup semakin meningkat. Maka jika ada sedikit kesejahteraan yang diberikan pemerintah menjadi inti pembicaraan yang sangat menyenangkan. Kalau dulu guru hanya mendapatkan gaji kecil saja sudah cukup ikhlas, sekarang mendapat gaji besar namun merasa masih kurang saja.

Teori filosofi Ki Hajar yang kedua tentang guru sebagai pembangun semangat jiwa para siswanya sedikit tergerus oleh adanya kewibawaan dan perhitungan untung rugi. Korban utama lagi-lagi siswa. Maka jangan salahkan siswa jika sering terjadi kenalakan remaja, kelas sulit dikendalikan dan siswa merasa bosan dengan sistem pembelajaran. Guru adalah kunci dari setiap hal yang terjadi pada kemajuan pendidikan, jika gurunya tidak mau berbenah, dapat dipastikan kualitas pendidikan kita akan stagnan. Sudah saatnya kita kembali meneladani guru-guru yang luar biasa di masa lalu, yang dapat mengorbankan seluruh tenaga dan pikiranya demi kemajuan pendidikan. Hebatnya lagi mereka juga mampu mengurus rumah tangga dengan baik.

Terakhir adalah bagaimana seorang guru tetap mampu mengontrol dan memberikan dorongan kepada siswanya, meskipun kehadiranya ada atau tidak. Dorongan ingin yang akan menjadikan siswa menjadi orang yang kuat dan mandiri. Bekal untuk hidup di masa depan, itu sebenarnya inti dari pendidikan. Dimana pendidikan seharusnya dapat memberikan masa depan yang lebih baik kepada siswa kita. Tidak hanya itu dorongan moral dari guru akan memberikan kekuatan kepada siswanya untuk berani melangkah di masa depan.

Sekarang ketiga gagasan Ki Hajar Dewantara itu hanya sekedar menjadi slogan. Banyak orang dari luar negeri menggunakan slogan itu, namun bangsa ini malah meninggalkannya. Di tanggal ini, 2 Mei 2015, tepatnya menyongsong hari pendidikan nasional, saya ingin mengajak kepada diri saya sendiri dan pembaca yang budiman, terutama para praktisi pendidikan, marilah kita kembali menegngok ke belakang dan merefleksikan berbagai kejadian yang telah kita lakukan dalam pendidikan. Sudahkah kita memenuhi tanggung jawab dan kewajiban kita? Atau kita hanya sekedar melunturkan kewajiban tanpa memaknai kewajiban itu sendiri? Sudah saatnya kita bangkit da kembali membangun pendidikan kita dengan semangat dan etos kerja yang baru.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL.

Pundong, 2 Mei 2015, Dini Hari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun