Mohon tunggu...
Indera Widi
Indera Widi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang pegawai swasta yang berpikiran terbuka, suka membaca dan baru belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pernikahan Membasmi Persahabatan?

12 Mei 2012   12:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:23 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian di hari Jumat ini membuat saya tertarik untuk membuat blog. Blog tentang arti sebuah persahabatan.


Semua berawal dari kunjungan teman lama saya ke kota saya, Surabaya. Dia datang dari Jakarta karena ada tugas dari kantornya. Sebut saja namanya RT. Jauh-jauh hari si RT ini sudah memberi kabar, dengan penuh semangat - yang memang merupakan ciri khas sifatnya - bahwa dia akan berkunjung ke Surabaya. Saya pun menyambutnya dengan semangat. "Nanti kita hang out ya, bro!", begitulah tanggapan saya di Blackberry Messenger (BBM).


Waktu pun berlalu. Suatu sore di saat sedang menikmati makan sore dengan keluarga, tiba-tiba ada pesan BBM masuk. "Guys, gue pulang Jakarta ya. Terima kasih atas keramahtamahan kalian". RT mengirimkan pesan ini ke beberapa teman yang juga saya kenal. Seketika itu juga timbul perasaan tidak enak di hati saya. Saya yakin isi pesan di BBM itu adalah suatu bentuk sindiran. Saya pun segera mengirim pesan ke RT. Saya berusaha mengajak dia bertemu sebelum menuju bandara. Jawabannya adalah "kalo ngajak dari kemarin". Saya langsung tahu dari jawabannya kalau dia marah besar. Saya balas pesannya dengan icon "thumbs up".


Saya kemudian tercenung dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Saya merasa sangat bersalah. Saya mengakui memang banyak perubahan dalam diri saya setelah saya menikah. Saya merasa semakin egois dalam artian mementingkan keluarga saya sendiri sehingga mengorbankan persahabatan yang sudah dijalin lebih dulu (sebelum menikah). Saya juga sering menggunakan alasan keluarga sebagai pelindung dari rasa malas saya.


Kalau dipikir-pikir, apa sih sulitnya meluangkan waktu sejenak untuk menemani "hang out" seorang teman lama? Kalau niat kita pasti bisa. Tetapi selalu ada alasan untuk menghindar karena malas. Entah karena alasan harus mengantar istri pulang ke rumah. Alasan karena anak menunggu di rumah. Bahkan mungkin alasan istri yang tidak memberikan ijin keluar malam.


Tetapi di sisi lain saya juga berpikir. Sahabat itu seharusnya bisa saling memahami. Seperti bunyi salah satu twit Dalai Lama yang pernah saya baca. Twit itu bunyinya begini: "Do not explain. Your enemies won't believe it. Your friends don't need it". Terjemahan bahasa Indonesianya: "Jangan memberikan penjelasan. Musuhmu tidak akan mempercayainya. Sahabatmu tidak membutuhkannya".


Saya juga sering mengalami hal yang sama. Saat tugas ke Jakarta contohnya. Saya menghubungi beberapa sahabat saya saat kuliah dulu. Mereka berjanji akan meluangkan waktu untuk "hang out". Sampai saya pulang ke Surabaya, mereka juga akhirnya tidak bisa menemani saya. Ada yang tanpa alasan, ada yang memberi alasan dan memang alasannya berhubungan dengan masalah keluarga. "Sorry ya bro, anak gw sakit kemarin." Atau: "Sorry man, pembantu gue tiba-tiba pulang, anak gue gak ada yang jaga". Saat saya pulang ke Surabaya, saya tidak mengirimkan pesan apa-apa sebagai bentuk sindiran halus. Sayapun tidak merasa marah. Saya paham karena saya pernah mengalami apa yang mereka alami. Dan karena mereka sahabat-sahabat saya yang saya yakin tidak akan berbohong dengan saya. Kalaupun mereka berbohong, saya pun tidak peduli. Saya memilih untuk memahami.


Saya juga berpikir, apakah memang persahabatan dan pernikahan itu saling membasmi satu sama lain? Teman saya RT kebetulan belum menikah. Dia belum mengalami semua "kelelahan hidup" yang dialami orang yang sudah menikah dan punya anak. Dari contoh pengalaman saya saat tugas ke Jakarta tadi, yang berhasil menemani saya "hang out" dua orang, satu orang sudah menikah dan belum punya anak, satu orang lagi sudah bercerai dan punya anak.


Lalu bagaimana saya harus bersikap? Saya memilih diam dan menulis blog ini, hehe. Saya menerima amarah teman saya. Saya memang tidak berniat meluangkan waktu untuk menemaninya, dengan berbagai alasan, baik alasan itu benar adanya atau berbohong.


Saya juga memilih untuk berharap. Berharap bahwa RT memang benar-benar sahabat yang juga mau memahami sesamanya. Kalaupun RT memilih untuk menjauh dan menurunkan level pertemanan saya pun siap. Sampai nanti tiba saatnya dia menikah, punya anak dan (mungkin) mengalami hal yang sama. Menempatkan keluarga sebagai prioritas utama dan menggunakan keluarga sebagai "alasan" untuk menutupi sebuah kemalasan.


Surabaya, 12 Mei 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun