Mohon tunggu...
Boby H.
Boby H. Mohon Tunggu... -

Independen, Mengembalikan pemikiran pada Kemurnian , Anti Pragmatis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membuka Rahasia Pencitraan 2014

2 Maret 2014   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dahsyatnya Media dalam mengangkat figure atau tokoh seseorang untuk kemudian menjadi sosok yang begitu dikenal dan diperbincangkan diberbagai social media memang tidak bisa disangkal lagi, baik media social online, surat kabar dan terutama media Televisi yang benar-benar dirasakan keampuhannya. Media televisi boleh dibilang sebagai garda terdepan dalam mendongkrak popularitas seseorang. Selain Karena jangkauan yang luas , media televisi juga bisa menggambarkan artikulasi secara visual dari sosok objek pemberitaan, yang kemudian bisa dilihat dan disaksikan bukan hanya kalangan menengah atas, tapi juga masyarakat bawah (grass root). Pendek kata media televisi adalah ruang publik yang paling efektif untuk pembentukan citra seseorang menjadi sosok yang dikenal.

Pemberitan media televisi bisa dikemas dengan berbagai cara ; bisa melalui iklan regular yang biasa saja, bisa melalui spot berita yang intensif /masif terhadap objek yang dijadikan berita, atau bisa juga dengan membayar spot khusus pada acara2 di televisi. Dan satu lagi yang juga sering dipakai adalah dengan menyewa (membayar) kepada station TV untuk sering memunculkan pemberitaan sesuai objek berita yang dinegosiasikan, tentunya pemberitaannya diarahkan pada hal yang positip yang bisa mepenagruhi opini publik di masyarakat.Hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa media-media yang ada itu memang bisa dipengaruhi oleh para pemilik modal lain atau bisa juga pemilik modal dari yang mempunyai media itu sendiri. Tentunya tidak pada semua media atau tayangan , tetapi biasanya hanya dipilih pada tayangan2 tertentu terutama yang bersifat politis.

Sebagian masyarakat mungkin masih beranggapan bahwa popularitas tidak menjamin keterpilihan (elektabilitas)seseorang, mungkin ada benar nya , tapi perlu diperhatikan juga bahwa seseorang juga tidak mungkin dipilih dan mempunyai elektabilitas tinggi bila sebelumnya orang tersebut tidak banyak dikenal publik (popular). Dengan demikian bisa dipahami bahwa seseorang yang mempunyai elektabilitas tinggi maka modal utama adalah harus sudah mempunyai popularitas terhadap dirinya.

Bagi figure /tokoh yang sudah mempunyai popularitas atau mungkin lumayan besar mempunyai modal popularitas, kemudian ingin mendongkrak terus popularitas tersbut , maka dia harus menjadi Media darling (disukai para pemburu berita). Hal ini sudah pernah dialami oleh presiden SBY pada masa pemilu 2004 dan 2009.

Dengan adanya modal popularitas maka akan lebih mudah bagi seseorang/figure tersebut untuk mencuri perhatian masyarakat melalui pemberitaan-pemberitaan media yang diharpakan nantinya akan mempunyai nilai plus (tambah) untuk meningkatkan atau mendongkrak elektabilitas . Untuk mewujdkan semua itu perlu dibangun pencitraan yang baik ditengah masyarakat, agar nantinya timbul simpati dan keberpihakan masyarakat kepada tokoh /figur tersebut.

Citra di dalam politik sebenarnya lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya, citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih, tetapi citra merupakan negosiasi, evaluasi dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama. Dengan kata lain, keyakinan pemilih tentang kandidat berdasarkan interaksi atau kesalingbergantungan antara yang dilakukan oleh kandidat dan pemilih. Dengan demikian citra adalah transaksi antara strategi seorang kandidat dalam menciptakan kesan personal dengan kepercayaan yang sudah ada dalam benak para pemilih.

Penelitian tentang penggunaan media televisi untuk pencitraan politik bukanlah sesuatu yang baru. Tingginya konsumsi penggunaan televisi dibanding media massa lainnya, membuat masalah penggunaan televisi untuk memperbaiki citra politik menjadi sebuah kajian yang menarik untuk terus diamati.

Saat ini, hampir tidak ada, pencitraan partai politik atau tokoh politik yang akan mengikuti sebuah pemilihan jabatan politik yang tidak menggunakan media televisi.  Karenanya,   makin  banyak  kajian-kajian   yang  berkaitan  dengan  hal tersebut dilakukan banyak pakar komunikasi politik.  Tidak heran  banyak  teori-teori  yang  lahir dari pemanfaatan   media  massa,  terutama  televisi  untuk  pencitraan  partai  politik maupun  tokoh  politik,  seperti  teori  agenda  setting, yang  sudah  dikenal  luas hingga saat ini.

Teori utama yang digunakan  dalam penelitian ini, terutama yang menyangkut isi pemberitaan adalah teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell  E.  Combs  dan  Donald  Shaw  pada  tahun  1972.  Menurut  keduanya, dalam  agenda  setting akan  terlihat  bahwa  dalam  memilh  dan  menampilkan berita,   editor,   staf   dan   penyiar   memainkan   peranan   yang   penting   dalam membentuk realitas politik. Penonton /Pembaca sebenarnya tidak hanya disodorkan tentang sebuah issu tertentu, tetapi Penonton /pembaca juga diikat dalam issu-issu tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh media. Media massa menentukan issu mana yang penting,   media  mengatur   agenda   dan  berita  yang  akan  diberikan   kepada pembaca atau penontonnya.  (Stanley J. Baran dan Dennis K Davies)

Mengelola persoalan berupa kepercayaan masyarakat bukan tugas yang sederhana dan mudah. Mempublikasikan  dan mensosialisasikan  nilai  serta citra partai maupun sosok figure seseorang yang ingin ditonjolkan membutuhkan penanganan yang khusus, bahkan memerlukakan konsultan tersendiri yang khusus untuk mengelolanya, mengingat  dinamika  yang  berkembang tidak  mudah  diduga.  Oleh  sebab  itulah,  keberadaan media  massa  bagi  partai  politik  menjadi  sesuatu  yang  sangat  strategis  dan teramat penting. Kebutuhan akan eksistensi media dalam mempertahankan  dan menjaga  kesinambungan  hubungan  yang saling menguntungkan  antara , figure tokoh, parpol dan masyarakat sangat relevan dengan kepentingan parpol agar memperoleh dukungan masyarakat secara lebih berkelanjutan.

Pengaruh  media  dalam kehidupan  politik sangatlah  besar, media mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk mempengaruhi opini publik dan perilaku  masyarakat.  Cakupan  yang  luas  dalam  masyarakat  membuat  media massa dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam pembentukan image partai maupun figure seseorang. Sebuah informasi yang dihasilkan oleh media massa, khususnya yang berkaitan  dengan  sebuah  parpol,  setidaknya  mempunyai  fungsi  untuk membentuk citra partai politik kepada khalayak.

Dalam  karya  klasiknya  Walter  Lippmann  menyebutkan   bahwa  berita media merupakan sumber utama yang membentuk alam pikir kita terhadap persoalan-persoalan  publik yang lebih luas yang berada di luar jangkauan, pandangan dan pikiran kebanyakan warga negara biasa. Apa yang kita ketahui tentang dunia itulah apa yang media sampaikan kepada kita.  Bahkan, apa yang menjadi agenda utama media secara sangat kuat mempengaruhi agenda utama publik. Ringkasnya, apa yang dianggap penting oleh media menjadi penting pula bagi publik.

Masyarakat umumseolah diarahkan mengikuti Mainstream agenda media yang disodorkan kehadapan publik, sehingga apa yan menjadi agenda pemberitaan media , maka itu pula yang akan menjadi konsumsi alam pikiran ditengah masyarakat.

Teori lainnya yang juga digunakan  dalam penelitian,  ini terutama menyangkut iklan adalah teori Analisis frame yang dikemukakan oleh Erving Goffman pada tahun 1974. Goffman menganggap iklan sebagai hyperritualized representation  dari  tindakan  sosial.  Hal  itu  terjadi  karena  menurutnya,  iklan hanya menampilkan bagian-bagian tertentu saja yang sudah diedit hingga hanya menampilkan tindakan yang paling bermakna saja. Teori dari Goffman ini akan memberikan  sebuah  cara  yang  menarik  dalam  mengukur  bagaimana  media massa  secara  detail  akan  mendorong  dan  menguatkan  budaya  publik  yang dominan. (Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, 2010, halaman 394-395)

Jika  dikaitkan  dengan  penelitian  ini  maka  akan  terlihat  bahwa  melalui iklan politik yang ditayangkan di stasiun televisi nasional akan mendorong atau menggiring opini publik seperti apa yang partai diinginkan partai politik yang membuat  atau  menanyangkan  iklan  politik  tersebut.  Bagi  partai  politik  yang punya modal besar atau punya akses terhadap kepemilikan stasiun televisi, tentu punya kesempatan yang lebih besar untuk menggiring opini atau sikap penonton terhadap citra partai politik mereka. Bukan tidak mungkin, juga secara signifikan akan meningkatkan popularitas atau elektabilitas partai politik tersebut.

Namun pencitraan pada sosok atau figere tertentu bukan hanya monopoli para pemilik modal stasiun tv, tapi bisa juga dilakukan oleh orang luar yang mempunyai backing modal yang kuat untuk membangun suatu politik pencitraan terhadap sosok tertentu yang didukung oleh si pemilik modal. Tentunya diharapkan akan dapat memberikan benefit (keuntungan) dikemudian hari bila sosok tersebut benar2 berhasil sesuai yang diagendakan.

Sementara teori lainnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teori pencitraan  politik  yang dikemukakan  oleh Dan  Nimmo  pada  tahun 2004. Dan menyatakan bahwa pencitraan politik itu seperti kapstok, yang sebenarnya bukan menyajikan realitas politik yang sebenarnya. Menurut Dan, realitas politik bukanlah  seseuatu  yang  kita  alami  sekarang,  karena  apa  yang  kita  alami sekarang sudah melalui kegiatan simbolik yang disampaikan melalui kegiatan simbolik. Apalagi, jika dikaitkan dengan media massa, maka kegiatan simbolik tersebut  adalah  sebenanya  hanya  merupakan  aktifitas  yang  tertangkap  dan diangkat oleh media massa saja. (Dan Nimmo, 2004).

Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka jelas bahwa pencitraan figure /partai politik   yang   dilakukan   melalui   pemberitaan   yang   ada   di   media   televisi, merupakan  langkah  strategis  untuk  bisa  menjadikan  figure /partai  politik  yang bersangkutan  masuk  dalam  issu-issu  strategis  seperti  yang  diberitakan  oleh media.  Artinya,  semakin  banyak  ditampilkan  berita-berita  bagus  tentang  figure /partai   politik   akan   semakin   dekat   partai-partai  politik   tersebut   pada  para pemilihanya. Permasalahannya adalah tinggal bagaimana mengemas issu atau aktifitas partai politik hingga dibicarakan atau menjadi agenda setting dari media massa. Hal tersebut menjadi lebih mudah, jika partai politik tersebut punya akses kepemilikan pada media massa, termasuk stasiun televisi nasional.

Selamat menyimak episode pencitraan 2014 !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun