Mohon tunggu...
inda suhendra
inda suhendra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

suka membaca, suka menulis juga, dan suka traveling.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kalbu, antara Hati dan Anjing

24 September 2012   10:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 2578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sejak dijadikan sumpah oleh pemuda-pemudi Nusantara tahun 1928, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bukanlah bahasa yang sudah jadi, diam, dan selesai. Ia melewati proses sejak sebelum lahir, dan terus berkembang dari masa ke masa hingga kini. Kalaupun ada satu unsur bahasa dominan yang menjadi landasan utama, keberadaannya dibangun di atas anasir bahasa lain yang beragam. Hari ini kita menyaksikan, ia telah menjadi bahasa yang sintal karena penuh disesaki oleh lema baru yang diserap dari berbagai bahasa lain. Proses tersebut tak bisa dibendung, karena secara empiris, bahasa selalu bergerak dinamis demi memperkaya dirinya sendiri dalam ranah budaya manusia. Bandingkanlah misalnya buku-buku berbahasa Indonesia yang diterbitkan pada era 70-an dengan buku-buku yang muncul di tahun 2000-an. Rasa bahasa dan kosakata yang berbeda akan kita temukan sebagai bukti progresif bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia berdaya serap tinggi terhadap bahasa lain. Kita paham, menyerap suatu kata atau frasa dari bahasa dan budaya lain tak selamanya mudah. Pada akhirnya, kata serapan sering disesuaikan dengan warna lokal bahasa kita. Dengan kata lain, perlu penyesuaian bunyi yang terkait dengan kemampuan lidah kita mengeja dan melafalkan sebuah kata asing.

Dalam praktiknya, penyesuaian itu ada yang berjalan mulus, namun tak sedikit yang menuai ganjalan–yang beberapa hal di antaranya terjadi pada saat proses alihtulis atau alihaksara. Terutama banyak terjadi dalam penyerapan dari bahasa Arab.

Penutur dan penulis bahasa Indonesia telah terbiasa menyalin huruf ’qof’ atau ’q’ yakni huruf ke-21 dalam abjad Arab, menjadi ’k’ dalam kosakata bahasa Indonesia. Lema seperti a(k)ibat, ba(k)a, ha(k), ha(k)i(k)at, (k)arun, (k)ertas, (k)amus, (k)iamat, (k)iblat, (k)orban, ma(k)am, mu(k)adimah, ta(k)dir, wa(k)tu, ya(k)in, dan (k)albu adalah beberapa contoh di antaranya. Contoh-contoh di atas diserap dari bahasa Arab dengan perubahan huruf ’q’ menjadi ’k’. Tapi perlu diketahui, abjad Arab juga memiliki konsonan ’kaf’ atau ’k’, yaitu huruf ke-22 dalam susunan alfabetnya. Sayangnya, bahasa kita juga menyerap bahasa Arab yang memakai huruf ’k’, yang setelah diserap pun tetap menggunakan konsonan itu (tidak berubah). Contohnya seperti huruf ’k’ dalam kata (k)itab, malai(k)at, mili(k), dan ta(k)abur.

Nah, sejauh bahasa aslinya tidak memiliki kata lain yang mirip-mirip, sejauh itu pula masih aman untuk diserap dan digunakan. Sebaliknya, ketika ada kata dalam bahasa Arab yang mirip tetapi beda arti, maka di situlah kerancuan bermula. Sebagai catatan, kesalahan satu huruf saja bisa mengubah arti sebuah kata. Seperti contoh kata ’kalbu’, kita pahami dalam bahasa Indonesia bermakna ’hati’. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga memasukkan lema ’kalbu’ yang diartikan sebagai ’hati’. Kenyataannya, ’hati’ dalam bahasa Arab adalah (q)olb, dengan huruf awal ’qof’  atau ’q’. Sedangkan ’kalb’ yang huruf pertamanya ’kaf’ atau ’k’, dalam bahasa Arab artinya adalah ’anjing’. Nah, ketika kata ’qolb’ dialihtuliskan ke dalam kosakata kita menjadi ’kalbu’, maka akan berbenturan dengan ’kalbu’ yang berawalan ’kaf’ atau ’k’ yang bermakna ’anjing’. Di situlah letak permasalahannya, maksud hati menulis kata ’hati’, tapi malah jadi ’anjing’. Untung saja bahasa Indonesia tidak–atau mungkin belum–menyerap bahasa Arab ’kalb’ (yang artinya ’anjing’) ke dalam perbendaharaan katanya.

KH Abdullah Gymnastiar dan kawan-kawannya barangkali menyadari kemungkinan benturan itu. Maka, mereka pun memilih jalur aman dengan membuat ’manajemen qolbu’, bukan ’manajemen kalbu’. Kerancuan makna kata pun telah mereka hindari.

Proses transliterasi dari huruf Arab ke huruf Latin sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158 Tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987. Keputusan kedua menteri tersebut di antaranya mengatur pengalihtulisan ’qof’ dari bahasa Arab menjadi ’q’ dalam abjad Latin yang kita gunakan. Sedangkan ’kaf’ dalam abjad yang sama dialihaksarakan menjadi ’k’ dalam abjad yang kita pakai.

Akhirnya kita harus menyadari, kerancuan dan kesalahkaprahan dalam berbahasa tidak bisa dinihilkan, kita hanya mampu meminimalkannya dengan memerhatikan kaidah linguistik. Alergi terhadap fonem-fonem tertentu (f, q, v, x, dan z) tampaknya juga perlu dipikir ulang. Supaya–seperti contoh di atas–hati tetaplah hati dan anjing tetaplah anjing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun