Jalaluddin Rumi pernah berkata dengan cinta, yang pahit menjadi manis. Dengan cinta, tembaga menjadi emas. Dengan cinta, sampah menjadi jernih. Dengan cinta, yang mati menjadi hidup. Dengan cinta, raja menjadi budak. Dari ilmu, cinta dapat tumbuh. Pernahkah kebodohan menempatkan seseorang di atas tahta seperti ini?. Sedangkan Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Bau sampah kulit udang bagiku lebih enak ketimbang bau orang yang sok bermoral padahal bajingan.sumber Silahkan di klik
Namun jika kita lihat melalui kaca mata filsafat, keranjang sampah atau tong sampah memiliki nilai filosofinya tersendiri. Pertama Belajar Sabar dan Menerima.Sikap sabar dan menerima ini yang perlu kita contoh dari sebuah keranjang sampah. Dia setiap hari menerima apa yang kita buang tanpa protes sedikitpun. Karena keranjang sampah memang memiliki fungsi untuk menampung semua sampah yang kita punya. Sejatinya pula dia yang akan membuat rumah kita menjadi bersih.Tentu kita tidak ada yang peduli bagaimana keranjang sampah itu mengeluh? Bukankah membuat orang lain tersenyum adalah lebih baik? Membahagiakan orang lain itu lebih baik, meskipun kita belum tentu bahagia dengan apa yang mereka lakukan.
Kedua Mampu mengurai sampah yang dibuang. Pernahkah kalian berpikir dengan menjadi seseorang yang seperti keranjang sampah bisa menyelesaikan puluhan bahkan ratusan masalah dari puluhan bahkan ratusan orang? Dari satu orang ke beberapa orang yang berpeluh kesah kepada kita dan menceritakan semua permasalahnnya lalu kita mampu mengurai masalah tersebut dan memberikan solusi yang terbaik bukankah itu sebuah hal yang menakjubkan? Darimana sebuah keranjang sampah bisa mengurai itu semua? Tidak lain dan tidak bukan karena dia telah belajar bagaimana mengurai sampah satu demi satu perlahan demi perlahan dari sampah yang orang lain buang. Bukankah setiap permasalahan orang itu hampir serupa, tinggal bagaimana kita berperan saja didalamnya? Disitulah kita baru menyadari betapa hebatnya keranjang sampah.
Menjadi manusia pembelajar memberikan arti kita mau belajar memperbaiki diri sepanjang waktu dan hayat kita. Belajar membenahi sampah yang sudah kita buang dengan membersihkan secara sempurna sampai ke akarnya. Bukan belajar menjadi benalu untuk orang lain tapi belajar untuk kebermanfaat orang banyak. Menjadi seorang pemimpin ibarat kata belajar untuk menata sampah serta membersihkan sampah kemudian dibuatkan narasi untuk apa sampah-sampah itu nantinya. Kemudian dibuatkan giat untuk aksi agar bagaimana sampah menjadi sesuatu bahan pembelajaran yang bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H