Sejarah penulisan sejarah modern Indonesia dipengaruhi oleh tradisi historiografi modern Eropa. Tradisi ini menekankan pada penggunaan metode dan ilmu pengetahuan Barat dalam sejarah, sehingga agar dapat menjadi Sejarah Profesional Modern (SPM) maka penulisan sejarah di Indonesia juga harus mengacu pada kaidah-kaidah metode Barat. Hal ini merupakan akibat dari ‘ekspansi Eropa’ yang menanamkan pemikiran Barat mengenai sejarah melalui ‘pendidikan Barat’ dan wacana global.
Berakhirnya kolonialisme dan lahirnya negara-negara baru pasca PD II turut mempengaruhi arah perkembangan historiografi Indonesia. Tuntutan akan dekolonisasi sejarah tak terhindarkan dalam iklim revolusi. Penulisan sejarah Indonesiasentris menjadi kebutuhan yang takterelakkan. Namun sayangnya,jika dilihat dari isi dan strukturnya, sejarah Nerlandosentris dan sejarah Indonesiasentris sebagian besar identik satu sama lain, meskipun penilaian moralnya berlainan satu sama lain. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (Sutherland, 2008:40). Corak sejarah yang hitam putih ini belum mampu memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai sejarah Indonesia.
Demam dekolonisasi sejarah tak hanya menyerang sejarawan lokal , tapi juga sejarawan Belanda. Usaha dekolonisasi sejarah Indonesia bagi sejarawan Belanda bukanlah hal yang mudah karena merekonstruksi dengan jujur dunia sosial dan realitas politik negeri jajahan adalah sebuah pekerjaan berat dari sudut pandang penjajah. Kenangan tentang ‘surga yang hilang’serta tinjauan moralistis yang penuh hujatan dan rasa bersalah seringkali menjadi penghalang.
Penulisan sisi kelam kolonialisme di Hindia Belanda seringkali mendapatkan tantangan dari warga Belanda sendiri. Apa yang terjadi pada masa lalu di negeri jajahan mereka dianggap sebagai suatu kewajaran. Pandangan rasial dan dominasi kulit putih dianggap wajar karena rakyat negeri jajahan di masa lalu masih belum cukup ‘dewasa untuk mengurus diri sendiri’. Pandangan ini dibentuk oleh moralitas dan ‘kebelandaan’ mereka dalam konteks metropolitan Eropa sehingga sulit bagi warga Belanda saat ini untuk memahami perilaku orang-orang Belanda di koloninya pada masa lalu.
Karya Lou de Jong, History of the Netherlands during Second World War, mendapat tantangan serius dari warga Belanda. De Jong mengkritik kebijakan kolonial dalam bukunya. Ia menyatakan bahwa beberapa sektor militer Belanda telah bertindak begitu keji selama ‘agresi militer’ pada 1947 dan 1948, yang berusaha meredan kemerdekaan Republik Indonesia dalam rangka mengabadikan dominasi kolonial Belanda di Asia Tenggara (Gouda, 2007:63). Pernyataan de Jong ini merupakan pil pahit yang harus ditelan oleh para veteran Belanda yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Respon ekstrim terhadap tulisan de Jong adalah upaya hukum class-action yang diajukan Comite Geschiedkundig Eerhesrstel Nederlans-Indie (Komite Pemulihan Kehormatan Historis Hindia Belanda) yang mewakili 60.000 anggotanya melawan pemerintah Belanda pada pertengahan 1980-an karena uang para pembayar pajak telah digunakan untuk menyubsidi penelitian de Jong (Gouda, 2007:68).
Penulisan sejarah Indonesia oleh sejarawan Belanda ternyata dihadapkan pada berbagai masalah, berbeda dengan pandangan umum selama ini bahwa sejarawan Belanda lebih mudah dalam melakukan studi tentang Indonesia karena banyaknya sokongan dana yang mereka terima, kebebasan akademik dan melimpahnya sumber sejarah. Lebih jauh Sutherland (1994:786) mengungkapkan:
… I would suggest that Indonesian history writing in the Netherlands is only beginning to free itself from the restraints created by a strong past. We remain somewhat parochial and conventional in the questions we ask, and the sources we use. …
Proses dekolonisasi sejarah Indonesia perlu menyertakan narasi-narasi alternatif yang sebelumnya terlempar ke pinggiran.Narasi-narasi alternatiftersebut termasuk tradisi lisan ataupun sumber-sumber sejarah lokal yang oleh tradisi historiografi modern Barat hanya dipandang sebagai historiografi tradisional yang sarat dengan mitos dan sulit dipercaya atau diuji kebenarannya. Selama ini narasi alternatif baru akan diperlakukan secara serius hanya selama narasi alternatif tersebut sesuai dengan konvensi-konvensi Barat (Sutherland, 2008:61). Historiografi tradisional atau sejarah lisan dipandang sebagai bahan mentah dalam tradisi historiografi modern Barat dan bukan sejarah itu sendiri.
Pemetaan baru dalam sejarah juga perlu dilakukan. Eropa tidak lagi dipandang sebagai pusat segalanya, namun hanya salah satu bagian dari dunia yang memiliki relasi dengan bagian-bagian yang lain. Sutherland (2008:65) menganggap dirinya sebagai seorang realis kritis yang menyadari bahwa sejarah yang ditulisnya ditentukan oleh budaya, tapi bukan hanya Eropasentrisme karena ia terlibat dalam pola-pola pertukaran budaya yang semakin mendunia.
Surakarta, 24 April 2011
Indah W. P. Utami
Daftar Rujukan
Gouda, F.2007.Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Sutherland, H.1994.Writing Indonesian History in the Netherlands: Rethinking the Past. dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 150 Volumes of Bijdragen; A Backward Glimpse and a Forward Glimpse 150 no: 4,(hlm.785-804)Leiden: KITLV
____. 2008. Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah. Dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds),Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia(hlm.33-66) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KLTIV-Jakarta, & Pustaka Larasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H