Kemajuan sebuah negara terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) nya. Sayangnya, Â negara berkembang seperti Indonesia masih menanggung tiga beban masalah gizi (triple burden of malnutrition) yang berisiko menurunkan kualitas SDM dimasa depan, sehingga perbaikan gizi merupakan salah satu kunci untuk menjamin pembangunan SDM berkualitas. Sebagai agen perubahan, peran generasi muda untuk mengatasi permasalahan gizi menjadi sangat krusial, terutama di era Society 5.0 (konsep masyarakat berbasis teknologi). Oleh karena itu, pemanfaatan kemajuan teknologi dan media digital adalah salah satu bentuk.optimalisasi dari upaya generasi muda dalam menekan kejadian triple burden of malnutrition.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2019), Triple burden of malnutrition atau tiga beban malnutrisi adalah kondisi masalah gizi yang mengacu pada kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Fenomena ini merupakan tantangan global yang memengaruhi tingkat kesehatan setiap negara, terutama pada negara berkembang. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Indonesia Tahun 2023, saat ini Indonesia menghadapi tiga beban malnutrisi yang mencakup kejadian stunting (anak pendek) dengan prevalensi sebesar 21,6%, wasting (anak berat badan kurang) dengan prevalensi sebesar 8,5%, overweight pada balita sebesar 4,2%, obesitas pada dewasa sebesar 21,8%, serta anemia (kekurangan zat besi) pada remaja putri dengan prevalensi 29,2% dan pada ibu hamil sebesar 48,9% (SKI, 2023).
Penyebab kondisi malnutrisi sejatinya adalah karena asupan nutrisi yang tidak adekuat. Pada kejadian stunting, faktor penyebab langsung dapat berupa adanya infeksi atau kurangnya asupan nutrisi selama 1000 hari pertama kehidupan atau sejak bayi masih dikandungan hingga berumur 2 tahun (Yuwanti, dkk., 2021). Sebaliknya, pada masalah gizi lebih, asupan sumber energi, seperti karbohidrat, protein, dan lemak justru dikonsumsi melebihi kebutuhan tubuh (Wilda, 2020). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2022), Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang pada anak yang  ditandai dengan ukuran tubuh pendek atau berada di bawah standar kurva pertumbuhan WHO tahun 2006 (<-2 Standar Deviasi). Obesitas merupakan kondisi berat badan melebihi standar berat badan normal berdasarkan usia atau tinggi badan yang ditandai dengan timbunan lemak dibawah kulit. Anemia merupakan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah yang menyebabkan penurunan produksi sel darah merah. Anemia ditandai dengan pusing, lemas, dan kulit yang tampak pucat. Pada hakikatnya, masalah-masalah gizi tersebut memiliki tanda dan gejala yang cukup berbeda, tetapi apabila tidak segera ditangani masalah ini akan menghasilkan dampak jangka panjang yang hampir mirip. Jika berlangsung dalam waktu lama, kondisi malnutrisi-stunting, obesitas, serta anemia-dapat menyebabkan penurunan kecerdasan, produktivitas kerja, imunitas, serta peningkatan risiko penyakit degeneratif dimasa depan, sehingga berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Terganggunya kecukupan asupan nutrisi nyatanya didorong oleh beberapa faktor tidak langsung, salah satunya yaitu rendahnya kesadaran dan pengetahuan seputar gizi. Menurut Brahmana (2023), masalah gizi kurang pada balita dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan ibu akan pentingnya MPASI (makanan pendamping ASI) dan cara pemberiannya. Pada penelitian Aghadiati (2023) juga ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian stunting dengan pengetahuan ibu, dimana 62,2% balita yang stunting diasuh oleh ibu dengan pengetahuan kurang. Selain itu, berdasarkan penelitian Purhadi (2022), ditemukan sebanyak 16 dari 27 remaja dengan pengetahuan rendah yaitu ketidaktahuan akan bahaya konsumsi fast food, mengalami obesitas, sedangkan dari 6 remaja dengan pengetahuan baik, hanya 1 diantaranya yang mengalami obesitas. Berdasarkan penelitian Izdihar (2022), rendahnya pengetahuan remaja putri terkait anemia menurunkan perhatian mereka dalam pemilihan makanan untuk mencegah anemia, dimana 81,2% remaja dengan pengetahuan kurang memiliki perilaku pencegah yang negatif, Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor intrapersonal yang memengaruhi perilaku gizi, seperti pengaturan pola makan dan pemilihan jenis asupan.
Menurut World Health Organization (WHO), edukasi gizi berperan dalam mendorong perilaku gizi yang baik. Semakin sering seseorang terpapar pada pengetahuan gizi, maka semakin tinggi motivasinya untuk menerapkan sikap dan perilaku gizi yang baik. Di era modern ini, edukasi kesehatan, khususnya gizi telah mengalami perkembangan yang positif dalam pemanfaatan teknologi. Salah satunya yaitu, pengunaan media sosial untuk edukasi gizi. Media sosial menjadi salah satu platform edukasi gizi yang efektif karena menawarkan informasi yang luas dan kemudahan untuk diakses masyarakat dari berbagai golongan. Berdasarkan penelitian Zaki, I. & Sari, H. (2022) pada remaja putri dengen KEK (kekurangan energi kronis), ditemukan peningkatan asupan energi sebanyak 21,5% pada kelompok perdesaan dan sebanyak 33,3% pada kelompok perkotaan setelah diberi edukasi gizi menggunakan infografis yang diunggah melalui Instagram dan WhatsApp. Berdasarkan penelitan Femyliati (2023), pemberian edukasi gizi melalui Whatsapp pada siswa SMK Darussalam Karangpucung & SMK Negeri 1 Karangpucung menyebabkan perubahan baik pada pola konsumsi jajanan menggunakan aplikasi pesan-antar makanan online, dimana pemilihan menu yang padat gizi rata-rata meningkat sebanyak 28,8%, sedangkan pemilihan menu berlemak rata-rata menurun sebanyak 24,3%, dan pemilihan menu manis turun sebanyak 4,5%. Pada penelitian tersebut juga ditemukan adanya peningkatan pengetahuan siswa dengan rata-rata sebesar 3,25%. Penggunaan Whatsapp dan Instagram efektif menjadi media pembelajaran gizi karena merupakan platform yang diminati dan mudah diakses oleh kalangan remaja. Selain remaja, kalangan ibu juga sudah banyak menggunakan media sosial, terutama Facebook dan Instagram. Â Menurut Rosini & Siti Nurningsih (2018), Instagram adalah jenis media sosial yang paling sering digunakan-sebesar 64,6 %-untuk mengakses informasi kesehatan. Berdasarkan penelitian Azizah, S. & Wardani, S. (2024), pengetahuan ibu tentang MPASI meningkat sebanyak 45% setelah dilakukan edukasi online menggunakan media sosial Instagram. Hal ini karena melalui Instagram, ibu dapat berinteraksi dan bertukar pengetahuan dengan sesama ibu terkait penyediaan makanan yang bernutrisi bagi anaknya, serta mengakses informasi gizi dari akun-akun edukasi.
Tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan gizi, kemajuan teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan inovasi dalam sektor pangan. Seperti yang kita tahu, selain pengetahuan yang rendah, faktor penyebab tidak langsung dari triple burden of malnutrition adalah rendahnya ketersediaan pangan akibat ketergantungan yang tinggi akan jenis pangan tertentu, seperti beras sebagai makanan pokok (Azahari, 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya diversifikasi pangan untuk mendorong pemerataan penggunaan sumber daya pangan. Diversifikasi pangan merupakan usaha peningkatan variasi komoditas bahan pangan dalam pola konsumsi masyarakat. Selain untuk mengatasi masalah ketersediaan, diversifikasi pangan juga bermanfaat untuk mengatasi masalah gizi karena meningkatkan variasi asupan nutrisi (Suryana, 2020). Salah satu diversifikasi pangan yang berpotensi adalah inovasi pangan lokal. Menurut Zuhry (2022), pemanfaatan pangan lokal lebih efektif menggunakan inovasi teknologi, karena dapat menarik minat konsumsi masyarakat modern terhadap pangan lokal.Â
Pemanfaatan teknologi dalam inovasi bidang pangan menjadi salah satu tugas generasi muda untuk mengatasi kasus malnutrisi, karena generasi muda adalah kelompok masyarakat yang paling terdampak pembaharuan teknologi, sehingga cenderung lebih paham cara pemanfaatan teknologi. Inovasi tersebut dapat berupa produksi bahan pangan lokal bernilai gizi tinggi menggunakan teknologi pertanian, seperti urban agriculture dan hidroponik yang memanfaatkan lahan minim untuk budidaya pangan. Selain itu, generasi muda juga dapat memanfaatkan teknologi untuk menciptakan olahan pangan lokal inovatif seperti penggunaan dehidrator (pengering) dalam pembuatan tepung pisang dan melakukan promosi melalui sosial media untuk memperluas cakupan peminat produk pangan lokal yang inovatif.
Jadi, sebagai negara berkembang dengan tantangan triple burden of malnutrition, Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk menjamin kualitas sumber daya manusianya. Salah langkah strategis untuk mengatasi masalah malnutrisi di era Society 5.0 adalah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Sebagai golongan yang tumbuh berdampingan dengan perkembangan teknologi, generasi muda adalah pelaku kesehatan yang eligible dalam upaya memerangi malnutrisi di zaman modern. Upaya untuk menurunkan kejadian malnutrisi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan teknologi, seperti pemanfaatan media sosial sebagai sarana edukasi gizi serta inovasi alat untuk diversifikasi pangan lokal.
Daftar Pustaka
Zaki, I. & Sari, H. P. (2019). Edukasi Gizi Berbasis Media Sosial Meningkatkan Pengetahuan dan Asupan Energi- Protein Remaja Putri Dengan Kurang Energi Kronik (Kek). Journal of The Indonesian Nutrition Association, 42(2), 111-122. https://doi.org/10.36457/gizindo.v42i2.469
Wilda, I. & Desmariyenti. (2020). Hubungan Perilaku Pola Makan dengan Kejadian Anak Obesitas. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, Vol 5(1), 58-63. http://doi.org/10.22216/jen.v5i1.4361