[caption id="attachment_336154" align="aligncenter" width="504" caption="Mantis Shrimp di Pulau Bangka (photo oleh Indah Susanti)"][/caption]
Saat ini tengah berlangsung acara penting bagi kelestarian terumbu karang perairan Indonesia di Manado, Sulawesi Utara: World Coral Reef Conference (WCRC). Acara yang berlangsung dari tanggal 14 hingga 17 Mei ini menelan biaya 20 milyar rupiah, yang mana 15 milyar berasal dari APBN dan lima milyar berasal dari APBD Propinsi Sulawesi Utara (Antara News, 15 Maret 2014). Tema dari WCRC pun sangat menyentuh, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Sharif C. Sutardjo di website Kementerian Kelautan dan Perikanan: “Terumbu Karang untuk Keberlanjutan Perikanan, Ketahanan Pangan dan Bisnis yang Ramah Lingkungan”. Dalam hal ini konferensi dunia yang mengundang ratusan delegasi dari luar negeri termasuk negara-negara anggota Coral Triangle Initiative pun turut mendapat dukungan dari LSM besar seperti WWF Indonesia dan perusahaan ternama Indonesia, Telkom. Salah satu agenda dalam konferensi dunia ini juga termasuk peresmian gedung sekretariat Coral Triangle Initiative di Manado. Gedung yang menelan biaya 47 milyar rupiah (Tempo, 19 Juni 2013).
Telah sedemikian besar biaya yang telah dikucurkan untuk menunjukan kepedulian Indonesia akan perlindungan terumbu karangnya. Kenyataan bercerita lain. Pada tanggal 13 Mei 2014, sehari sebelum WCRC, terumbu karang di perairan yang berkisar hanya dua jam dari Manado, rusak ditutupi bebatuan. Daerah penyelaman bernama Sipi Point di perairan pulau Bangka yang dikenal oleh para turis penyelam karena dapat ditemui species yang unik, ditutupi bebatuan oleh perusahaan tambang, PT Mikgro Metal Perdana (PT MMP). Sekitar 35% saham dari PT MMP ini dimiliki oleh Bupati Minahasa Utara, Sompie Singal (Berkas Pengadilan Mahkamah Agung). Bupati yang memimpin daerah dimana Pulau Bangka berlokasi.
[caption id="attachment_336152" align="aligncenter" width="411" caption="Kapal PT MMP membuang batu (Sumber: Facebook Save Bangka Island)"]
Pertambangan di Pulau Bangka, Sulawesi Utara telah lama menuai aksi protes penolakan. Ditakutkan pertambangan akan mencemari perairan sekitar pulau tersebut yang berarti hilanglah mata pencaharian para nelayan yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya. Terumbu karang adalah sumber kehidupan dan rumah bagi dugong, coelacanth, kuda laut, dan berbagai jenis ikan; yang bila tercemar akan mematikan mereka pula.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di bulan April lalu menyatakan 30,4% dari 2,5 juta hektar luas karang di Indonesia dalam kondisi rusak. Prof. Suharsono dari LIPI menyatakan kerusakan tersebut diakibatkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Menurutnya, bila kerusakan disebabkan oleh faktor alam, maka pemulihan kerusakan terumbu karang akan cepat dan itu pun memakan waktu tahunan untuk kembali pulih. Namun yang paling mengkuatirkan adalah bila perusakan dilakukan oleh faktor manusia seperti sampah, pencemaran, atau pemboman, yang menurut beliau akan sulit untuk kembali pulih. Dan inilah yang terjadi di Pulau Bangka pada tanggal 13 Mei 2014. Perusakan terumbu karang karena faktor manusia.
Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Sinyo Harry Sarundajang (SHS) di media Tribunnews menyatakan bahwa keuntungan pertambangan Pulau Bangka akan mencapai triliunan rupiah. Beliau menyatakan ijin Amdal telah dikeluarkan secara ketat. Hati saya mengiris membaca berita ini, karena pada kenyataanya ketika perairan Pulau Bangka ditutupi batu-batuan, merusak terumbu karang di daerah tersebut, tidak ada satupun aparat pemerintahan yang berhubungan dengan Amdal memonitor hal ini. Inikah praktek ijin Amdal secara ketat yang diberikan oleh Pemerintahan Sulawesi Utara?
Apakah benar uang triliunan rupiah dari pertambangan tersebut akan kembali untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Pulau Bangka? Kenyataannya pulau ini masih tidak memiliki fasilitas kesehatan yang layak. Beroperasinya PT MMP hingga saat ini belum memberikan keuntungan apapun selain perusakan terumbu karang demi infrastruktur pertambangan. Sementara di Manado, sebuah konferensi kelas dunia dilaksanakan untuk menyelamatkan terumbu karang dan lautan. Apa guna menyelenggarakan konferensi dunia bila masalah di depan mata terabaikan?
Oh Indonesia, betapa pahitnya lelucon yang terjadi di lautanmu…
[caption id="attachment_336157" align="aligncenter" width="432" caption="Rhinopias di Pulau Bangka (Photo oleh Indah Susanti)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H