Indonesia kaya akan tradisi-tradisi khas yang masih ada kaitannya dengan sastra lisan di nusantara seperti halnya tradisi penyambutan kerabat jauh sebelum diturunkannya belang atau perahu ke perairan yang biasa disebut 'erbartai'. Desa Kalar-Kalar merupakan desa dengan akses transportasinya yang berupa perairan. Masyarakat setempat mayoritas menggunakan belang sebagai transportasi utama untuk pergi ke kota dan mencari nafkah sebagai nelayan. Sehingga pemanjatan doa atas keselamatan dilakukan dengan adanya tradisi erbartai. Tradisi tersebut dipimpin oleh ketua adat yang dihadiri oleh pemilik belang dan para kerabatnya serta warga desa. Banyak doa dan ritual yang dilakukan pada kegiatan tersebut, sehingga terdapat nilai-nilai yang terkandung pada kegiatan tersebut.
Keunikan dari tradisi erbartai sendiri salah satunya nampak dari kostum yang dikenakan oleh masyarakat Aru selatan. Mereka akan kompak menggunakan bawahan yang berupa kain batik serta membawa bendera merah putih dan simbol ikan. Hal itu diyakini dapat menjadikan desa tersebut aman, tentram dan makmur. Selain itu, dari kain batik sendiri memiliki simbol berupa budaya dan warisan bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan. Bendera merah putih, menunjukkan jiwa patriotism dan nasionalisme. Sementara simbol ikan, diyakini agar dapat membawa berkah. Mengingat mayoritas masyarakat Aru Selatan bermata pencaharian sebagai nelayan.
Tradisi erbartai ini biasanya diawali dengan datangnya seluruh kerabat baik dari dalam maupun dari luar desa tersebut, lalu adanya upacara penyambutan yang disambut dengan nyanyian atau dikenal dengan sebutan jilal. Jilal dinyanyikan sebagai upaya penyambutan tuan rumah terhadap tamu dan kerabatnya. Makna jilal sendiri bisa berarti nyanyian/pujian. Jika dilihat dari unsur sastra, jilal kaya akan makna estetis yang terkandung di dalamnya. Setiap lirik memiliki arti yang begitu dalam. Kendati demikian, adanya nyanyian jilal dari rentetan tradisi erbartai diyakini pula sebagai mantra atau doa-doa terpuji yang dapat menghantarkan umatnya ke dalam kesejahteraan. Setelah seluruh kerabat berkumpul, belang tersebut dibawa ke tepi perairan untuk diberikan mata belang serta doa dari ketua adat. Belang tersebut akan ditumpangi oleh seluruh kerabat saat turun untuk pertama kalinya di perairan.
Hingga saat ini, hanya penduduk setempat yang mengenal tradisi erbartai. Mengingat lokasi desa yang jauh berada di pedalaman, dengan akses transportasi yang begitu sulit, menjadikannya sulit diketahui masyarakat umum. Tradisi erbartai bukan hanya menggambarkan indahnya tradisi adat yang dimiliki bangsa Indonesia. Tradisi erbartai, tumbuh dan berkembang sebagai tali pengikat antar masyarakat untuk saling bersosialisasi dan toleransi. Hebatnya, tradisi tersebut masih berkembang aktif di desa Kalar-Kalar, sekalipun globalisasi modern mulai merajai dunia. Harapan kedepannya, semoga tradisi erbartai lebih dikenal oleh masyarakat luas. Dan banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H