Mohon tunggu...
Indah Permatasari
Indah Permatasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya tertarik dengan dunia komunikasi, film, kuliner, dan masih banyak lagi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Faktor Penyebab Stunting terhadap Anak di Indonesia

25 Oktober 2023   20:20 Diperbarui: 26 Oktober 2023   08:41 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Faktor Penyebab Stunting Pada Anak di Indonesia

Indah Permatasari

Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta

indhprmtsr2004@gmail.com


PENDAHULUAN

Kurang gizi jangka panjang, yang disebabkan oleh asupan makanan yang rendah dalam jumlah waktu yang cukup lama, dikenal sebagai stunting. Stunting dapat terjadi sejak janin dalam kandungan dan tidak terlihat hingga anak berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko sakit, kematian, dan hambatan pertumbuhan motorik dan mental. Ini terjadi ketika pertumbuhan tidak diimbangi dengan catch-up growth, yang berarti pertumbuhan menurun. Stunting pada anak balita menunjukkan pertumbuhan linier yang buruk selama periode kritis dan didiagnosis sebagai tinggi badan menurut usia kurang dari 2 standar deviasi dari median standar pertumbuhan anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (WHO, 2006). Konsekuensi dari stunting pada anak dapat bersifat langsung dan jangka panjang, termasuk peningkatan angka kesakitan dan kematian. buruknya perkembangan dan kapasitas belajar anak, peningkatan risiko infeksi dan penyakit tidak menular di masa dewasa, serta penurunan produktivitas dan kemampuan ekonomi (Stewart, Iannotti, Dewey, Michaelsen, & Onyango, 2013). Pengurangan stunting pada anak merupakan tujuan pertama dari enam tujuan dalam Target Gizi Global untuk tahun 2025 (WHO, 2012) dan merupakan indikator kunci dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang kedua yaitu Zero Hunger (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2016).

World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 menyatakan bahwa kejadian  balita stunting di  dunia  mencapai  sebesar 22,9% atau  154,8  juta balita. Jumlah kejadian stunting di Indonesia termasuk ke dalam lima besar negara  di  dunia.    Indonesia   termasuk negara  dengan prevalensi  stunting tertinggi ketiga di South-East Asian Region setelah Timor Leste (50,5%) dan India (38,4%)  dan Indonesia  sebesar  36,4%  (Pusat  Data  dan  Informasi Kemenkes,   2018).   Di   tahun   2019   angka   prevalensi   stunting   nasional menjadi  27,67.  Sedangkan  pada  tahun  2020  angka  prevalensi  nasional menjadi 24,1% (Kemenkes RI, 2020). Salah satu hal yang menjadi faktor terjadinya stunting terhadap balita adalah tingkat pengetahuan   dan   sikap   keluarga   mengenai   asupan   gizi   dan   tingkat pendidikan  dari  orang  tua  yang  mempengaruhi  pola  pikir  (Arnita et al., 2020).  Orang tua memiliki peran penting dalam memenuhi gizi balita karena balita  masih  membutuhkan  perhatian  khusus  dalam perkembangannya, lebih khususnya  peran  seorang  ibu  sebagai  sosok  yang  paling  sering bersama dengan balita. Jika seorang ibu memiliki pengetahuan yang baik tentunya akan mempengaruhi sikap yang baik juga dalam pemenuhan gizi balita  (Olsa et  al. 2017).  Pengetahuan  ibu  yang baik  diharapkan  dapat diterapkan ke dalam perilaku sehari-hari, baik dalam perilaku pengasuhan, pemilihan  makanan, serta pemberian makanan yang dapat memengaruhi tumbuh  kembang  balita.  Namun,  apabila  ibu  tidak mempraktikkannya dalam  kehidupan  sehari-hari  maka  dapat  berdampak  buruk  terhadap perkembangan balita seperti salah satunya stunting. Di  beberapa  keluarga,  anak-anak  justru  lebih banyak  mengkonsumsi  makanan  siap  saji  atau  kemasan seperti  snack, biscuit,   sereal,   dan junk  food, sehingga   berpengaruh   besar   terhadap kebutuhan   gizi   seimbang   anak.   Peningkatan   status   gizi   masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu  sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.  Kondisi  kesehatan  dan  gizi  ibu  sebelum  dan  saat kehamilan serta  setelah  persalinan  mempengaruhi  pertumbuhan  janin  dan  risiko terjadinya   stunting. 

BAGIAN (TEMUAN DAN ANALISIS)

Kerangka kerja WHO mengkategorikan penyebab terdekat stunting pada anak berdasarkan elemen (dan subelemen) berikut ini: faktor rumah tangga dan keluarga (faktor ibu dan lingkungan rumah), pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai (makanan berkualitas buruk, praktik yang tidak memadai, dan keamanan pangan dan air), pemberian ASI. (praktik yang tidak memadai), dan infeksi (infeksi klinis dan subklinis). Bab ini mengkategorikan faktor-faktor kontekstual yang sesuai ke dalam elemen luas, faktor komunitas dan kemasyarakatan, dengan sub-elemen berikut: ekonomi politik; kesehatan dan perawatan kesehatan; pendidikan; masyarakat, dan budaya; sistem pertanian dan pangan; dan air, sanitasi, dan lingkungan. Karena penyebab dan faktor kontekstual kerangka ini didasarkan pada data global, kami melakukan tinjauan literatur untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu dalam subelemen yang telah dipelajari di Indonesia. Penentu dalam literatur yang tidak secara spesifik tercantum dalam kerangka tersebut ditambahkan di bawah subelemen yang paling relevan. Kami menyajikan hasilnya dalam ringkasan naratif, yang biasa digunakan dalam tinjauan sistematis.

  • Faktor rumah tangga dan keluarga

Dalam elemen ini, kerangka WHO mencakup subelemen faktor ibu dan lingkungan rumah. Ada delapan yang teridentifikasi faktor ibu: gizi buruk pada masa prakonsepsi, hamil, dan menyusui; perawakan ibu yang pendek; infeksi; kehamilan remaja; kesehatan mental; pembatasan pertumbuhan intrauterin (IUGR) dan kelahiran prematur; jarak kelahiran yang pendek; dan hipertensi. Diantaranya adalah gizi buruk pada masa prakonsepsi, kehamilan, dan menyusui; perawakan ibu yang pendek; IUGR dan kelahiran prematur; dan kehamilan remaja telah terbukti berhubungan dengan stunting pada anak di Indonesia. Rachmi dkk. (2016b) melakukan analisis sekunder terhadap Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS; 1993, 1997, 2000, dan 2007) yang dilakukan secara cross-sectional, yang mencakup 13 provinsi, dan menemukan AOR stunting pada anak usia 24-59 bulan sebesar 2,21 ( 95% CI [1.76, 2.78]) pada ibu dengan tinggi badan sesuai usiaZskor (HAZ).

Subelemen lingkungan rumah mencakup stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memadai, praktik pengasuhan yang buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kerawanan pangan, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak tepat, dan rendahnya pendidikan pengasuh. Penelitian di Indonesia menemukan bahwa stunting pada anak berhubungan dengan praktik pengasuhan yang buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kerawanan pangan, dan rendahnya pendidikan pengasuh. Faktor-faktor penentu lainnya yang tidak disebutkan secara spesifik dalam lingkungan rumah ditemukan berhubungan dengan stunting pada anak dalam literatur di Indonesia: indikator kekayaan rumah tangga, ayah dan ibu yang merokok, ayah yang bertubuh pendek, dan rumah tangga yang padat. Hanya satu studi cross-sectional yang melaporkan hubungan antara praktik pengasuhan anak yang buruk dan stunting pada anak-anak miskin perkotaan berusia 6-59 bulan, namun studi tersebut tidak mengungkapkan kekuatan hubungan tersebut (Bardosono et al., 2007). Rendahnya pendidikan pengasuh, terutama pendidikan ibu, berhubungan erat dengan stunting pada anak dalam berbagai penelitian. Bardosono dkk. (2007) juga mengamati bahwa pengetahuan gizi ibu yang tidak tepat dan pendidikan ayah yang rendah berhubungan dengan stunting pada anak-anak miskin perkotaan berusia 6-59 bulan antara tahun 1999 dan 2001-segera setelah krisis ekonomi pada tahun 1999. Secara umum, kemungkinan terjadinya stunting pada anak akan lebih tinggi jika tingkat pendidikan orang tuanya lebih rendah, meskipun hal tersebut tidak terjadi secara mutlak, dan kemungkinan terjadinya stunting biasanya dua kali lebih tinggi pada anak-anak dari orang tua dengan pendidikan terendah dibandingkan dengan pendidikan tertinggi.

Faktor ibu yang tidak dinilai hubungannya dengan stunting anak atau pertumbuhan linier dalam literatur di Indonesia meliputi infeksi, kesehatan mental, jarak kelahiran yang pendek, dan hipertensi. Faktor penentu lingkungan rumah yang tidak dinilai hubungannya dengan stunting pada anak atau pertumbuhan linier mencakup stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memadai serta alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak tepat.

  • Pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai

Subelemen keamanan pangan dan air mencakup makanan dan air yang terkontaminasi, praktik kebersihan yang buruk, serta penyimpanan dan penyiapan makanan yang tidak aman. Penelitian mengenai makanan pendamping ASI (MPASI) di Indonesia hampir seluruhnya berfokus pada makanan berkualitas buruk (termasuk intervensi suplementasi dan fortifikasi), kecuali satu penelitian mengenai air yang terkontaminasi dan satu penelitian yang secara periferal membahas tentang pemberian makanan yang jarang diberikan.

Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, rumah tangga yang tidak memberikan makanan sesuai usianya - yang mencakup pola makan minimum yang dapat diterima dengan keragaman dan frekuensi yang memadai - dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan terjadinya stunting pada anak usia 0-23 bulan (UOR 1,39, 95% CI [1,09, 1,77]; Torlesse dkk., 2016).

  • Pemberian ASI 

Dua analisis terbaru oleh Rachmi et al. (2016b); Rachmi, Agho, Li, dan Baur (2016a) menunjukkan bahwa anak-anak yang disapih sebelum usia 6 bulan memiliki peluang lebih tinggi untuk mengalami stunting (AOR 3.16, 95% CI [1.91, 523] dan AOR 2.98, 95% CI [1.20, 7.41]). Penelitian yang sama juga mengamati bahwa pemberian ASI dalam waktu lama dikaitkan dengan prevalensi stunting pada anak yang lebih tinggi, namun tidak ada cukup bukti dalam penelitian cross-sectional ini untuk menentukan hubungan sebab akibat dan memperhitungkan faktor perancu secara memadai.

  • Faktor komunitas dan kemasyarakatan

Faktor komunitas dan kemasyarakatan merupakan satu-satunya elemen penentu kontekstual stunting pada anak dalam kerangka WHO. Subelemennya meliputi ekonomi politik, kesehatan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, masyarakat dan kebudayaan, pertanian dan sistem pangan, serta air, sanitasi, dan lingkungan hidup. Dari semua hal tersebut, penelitian menemukan bahwa stunting pada anak dikaitkan dengan banyak faktor penentu ekonomi politik dan kesehatan serta layanan kesehatan, dan salah satu faktor penentu adalah air, sanitasi, dan lingkungan. Karena kami melaporkan indikator kekayaan rumah tangga berdasarkan lingkungan rumah, kami tidak menyajikannya kembali di sini, meskipun indikator tersebut tumpang tindih dengan faktor-faktor penentu dalam ekonomi politik (yaitu, kemiskinan, pendapatan, dan kekayaan; serta lapangan kerja dan mata pencaharian).


KESIMPULAN

Bukti-bukti yang ada di Indonesia terutama sejalan dengan penyebab-penyebab umum stunting pada anak yang diidentifikasi dalam literatur yang lebih luas: tinggi badan dan pendidikan ibu, kelahiran prematur dan panjang badan lahir, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, dan status sosial-ekonomi rumah tangga. Beberapa faktor penentu yang diidentifikasi dalam kerangka WHO belum dinilai dampaknya terhadap stunting pada anak di Indonesia, dan diperlukan penelitian untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan ini di Indonesia. Faktor komunitas dan kemasyarakatan juga penting-terutama dalam menangani masalah kesehatan dan layanan kesehatan-namun diperlukan lebih banyak penelitian untuk membahas hubungan antara ekonomi politik, pendidikan, masyarakat dan budaya, sistem pertanian dan pangan, serta air, sanitasi, dan lingkungan hidup dan anak. stunting, yang mungkin memainkan peran penting di Indonesia.

Selain ibu yang bertubuh pendek dan berpendidikan rendah, anak yang lahir prematur, dan rumah tangga miskin, anak-anak dari masyarakat miskin perkotaan dan khususnya pedesaan juga sangat rentan terhadap stunting. Anak laki-laki jauh lebih mungkin mengalami stunting dibandingkan anak perempuan di seluruh Indonesia; faktor biologis, kondisi kehidupan, dan perbedaan pola makan ibu yang kemungkinan besar menyebabkan perbedaan pertumbuhan berdasarkan jenis kelamin harus menjadi prioritas utama untuk penyelidikan lebih lanjut. Intervensi untuk mencegah stunting pada anak harus dimulai sebelum konsepsi untuk meningkatkan status gizi pada masa remaja dan kehamilan serta memfasilitasi pertumbuhan kehamilan yang memadai, dan dilanjutkan setidaknya sampai anak berusia 24 bulan. Analisis spasial terhadap data sekunder yang berisi faktor-faktor penentu stunting pada anak yang teridentifikasi harus dilakukan agar intervensi dapat bervariasi secara geografis sesuai dengan konteks lokal. Setidaknya, mengingat besarnya disparitas regional dalam hal prevalensi stunting pada anak di Indonesia, intervensi harus menyasar provinsi (atau sebaiknya kabupaten atau kabupaten) dengan beban stunting pada anak tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmadhita, K. (2020). Permasalahan Stunting dan Pencegahannya. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 225-229.

Sari, N. A. (2022). UPAYA PENGENDALIAN ANGKA KEJADIAN STUNTING MELALUI PENINGKATAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN GIZI SEIMBANG. Bhakti Community Journal, 28-37.

Ty Beal, A. T. (2018). A review of child stunting determinants in Indonesia. Wiley material & child nutrition, 1-10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun