“Mana nyeri nyeri nyeri teuing
Ceurik ati di tambelakan
Henteu benang ku disabaran
Aduh alah ieung
Tega teh teuing”
Rasanya Anggi ingin berkata kasar saat suara khas Bungsu Bandung memenuhi indra pendengarannya. Mengabaikan panggilan ibu, bergegas ia menyincing sepatu hitam beserta satu set kaus kaki dari rak samping kamar, sebelum dengan agak tergesa memakainya didepan pelataran rumah.
“Anggi!”
Anggi merubah air mukanya segera.Lebih merengut, bahkan kini ada 3 lipatan bertengger didahinya.Jelas`lah sudah perkara pertama dihari ini. Anggi membenci ibunya, sama kuatnya dengan rasa ben`cinya kepada penjual kaset di depan rumah tua samping rumahnya, yang selalu memutarkan lagu “Talak Tilu” disetiap harinya.
“Anggi, sarapanlah terlebih dahulu, baru setelah itu kamu berangkat. Lagipula sekarang masih pukul lima.”
Wanita itu berdiri disamping pelataran rumah, tepat disamping Anggi, disaat Anggi sukses menamatkan simpul tali sepatunya. Bahkan Anggi merasa dirinya tak perlu menoleh, apalagi menjawab pertanyaan yang wanita itu lontarkan. Maka jelaslah perkara kedua, Anggi berangkat ke sekolah, tanpa restu dari sang ibu.
“Indit sore tulunyungna subuh
Pukul setengah enam tepat. Anggi menduduki kursi terdepan sambil merengut.. Lagi.Batinnya. Anggi menoleh kearah kanan, mendapati sang pelaku tengah asik dengan dunianya.
“Lis?”
Panggil Anggi pelan.
“Abdi tunduh mukakeun tulak..