Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keutamaan Mengajari Mengaji, Amal Jariyah yang Terus Mengalir Pahalanya

6 November 2024   19:11 Diperbarui: 6 November 2024   19:12 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keutamaan mengajari mengaji (Sumber: pexels/RDNE stock project)

Sebagai umat Islam, sudah sewajarnya kita mempelajari agama Islam dengan baik. Sumber utama ajaran Islam adalah kitab suci Al-Qur'an dan tentu afdholnya kita dapat mengaji/membaca Al-Qur'an dengan makhraj (tempat keluar huruf) yang benar.

Dalam ilmu tajwid makhraj huruf merujuk pada tempat atau posisi di dalam rongga mulut dan tenggorokan di mana huruf-huruf hijaiyah diucapkan atau dilafalkan. Setiap huruf hijaiyah memiliki makhraj yang spesifik, dan pengucapan yang benar sesuai makhrajnya akan memastikan bacaan Al-Qur'an Anda sesuai dengan kaidah tajwid.

Adapun tajwid artinya ilmu yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan kaidah-kaidah dalam membaca Al-Qur'an.

Saya bukan orang ahli agama dan bukan orang yang pandai membaca Al-Qur'an. Oleh sebab itu saya belajar.

Kita sudah diberi kesempatan untuk belajar mengaji sejak kecil. Mungkin dulu orang tua kita menyuruh mengaji di mushola kampung. Begitu pun orang tua saya. Indah kecil dulunya hanya ikut-ikut kakak mengaji di mushola kampung. Lalu sebagai anak kecil yang mudah terpotek hatinya, mutung dan tidak mau pergi mengaji lagi ketika ia merasa menulis huruf Al-Qur'an susah. Meliuk-liuk dan harus selesai, harus dikerjakan sendiri, jadi ia belum bisa pulang saat anak-anak lain sudah bubar, hahaha. Besoknya nggak mau lagi pergi mengaji. Sayangnya, orang tua tidak memaksa, jadilah saya ngajinya grothal-grathul alias terbata-bata sampai di SMA.

Apalagi sekolah di sekolah negeri tidak secara khusus mengajari bagaimana membaca huruf hijaiyah dengan benar. Kalau pun ada hafalan surat, pasti di buku cetak sudah ada cara membacanya dengan huruf latin. Jelas semua murid memilih jalan yang mudah.

Menginjak mahasiswa ada istilah mentoring di semester satu. Semua mahasiswa baru harus ikut kajian setiap hari Ahad untuk mengaji di masjid kampus dipandu oleh kakak-kakak tingkat, kating -- istilahnya sekarang di kampus anakku. Sesi mengaji ini diisi salah satunya dengan mengaji satu-satu saling bersambungan ayat. Wah, tengsin kan dengan kemampuan mengaji saya yang masih di bawah standar.

Untungnya punya kakak yang aktif di masjid kampus dan ia mendalami agama dalam tingkat di atas rata-rata. Saya pinjam bukunya yaitu buku otodidak belajar mengaji. Buku itu sangat bermanfaat sekali dalam membantu meningkatkan skill mengaji saya di awal-awal belajar secara serius. Saya lupa judul bukunya, yang jelas pasti besar pahala untuk penulisnya.

Setelah bekerja, ada juga kelas mengaji yang digagas teman-teman kantor. Seingat saya ada tiga kantor dan satu guru. Guru tersebut membagi muridnya menjadi tingkat pemula, menengah, dan advanced. Sudah bisa ditebak saya masuk kemana, ke pemula beneran.

Selain guru tersebut, saya dan teman-teman satu mess juga pernah memanggil guru ngaji, seorang ustadzah ke rumah. Kami belajar pada beliau, alfatihah untuk beliau yang telah tiada. Amalnya mengalir semoga menerangi alam kuburnya, aamiin.

Cara saya membaca Al-Qur'an meningkat pelan-pelan. Berikutnya masih ada beberapa kelas mengaji saya ikuti. Saat tinggal di Jogja pun saya ikut kelas mengaji. Bahkan sempat ikut program ODOJ alias One Day One Juz. Nekad saja tiap hari baca satu juz. Ajaibnya setelah ikut ODOJ sekitar setahunan, saya makin lancar membaca Al-Qur'an.

Sepertinya kunci belajar apapun memang adalah jam terbang. Dengan membaca satu juz alias 10 lembar tiap hari, lama-lama saya mengenali dengan cepat huruf-huruf hijaiyah sehingga otomatis bisa membaca dengan cepat pula.

Setelah mengikuti berbagai kelas mengaji, bacaan saya sudah makin baik. Sekitar satu tahun lalu ada tawaran dari teman di grup WA. Tawaran belajar ngaji secara online. Ustadzahnya dari Padang. Jauh, ya? Hati saya tergerak untuk ikut kelas tersebut.

Ustadzah Poppy nama gurunya. Beliau membuka sesi pertama dengan mengetes kami semua bacaan ayat. Hasilnya: semua harus mulai dari kelas dasar. MasyaAllah, memang Allah tunjukkan bahwa kita tak boleh merasa sombong dan takabur. Berasa sudah bagus membaca Al-Qur'an tapi ternyata membedakan sya dan sha masih belepotan. Apalagi pengucapan huruf 'ain, harus berulang kali disempurnakan. Belum lagi huruf-huruf lainnya.

Tapi ya menerima saja harus belajar dari dasar, lalu belajar dengan senang hati bersama dengan sekitar 15-an murid lainnya. Semuanya perempuan dari berbagai daerah dan dengan sebaran usia yang berbeda-beda. Saya termasuk kaum sepuh di situ, hehehe.

Tak terasa sudah setahunan saya belajar di ustadzah Poppy. Dampak belajar ngaji tersebut adalah: saya jadi lebih pelan-pelan jika ngaji sendiri, berusaha membetulkan setiap makhraj. Berusaha mempraktikkan apa yang diajarkan ustadzah Poppy, karena beda bacaan akan beda artinya. Tak usah mengejar kuantitas sekarang ini, namun lebih baik kualitas. Semoga setiap upaya membaguskan bacaan Al-Qur'an, dihitung sebagai pahala, aamiin.

Saya merasa salut dengan orang-orang seperti ustadzah Poppy, dan juga para guru yang telah mengajari saya mengaji yang tak bisa saya sebut namanya satu-satu, bahkan mungkin ada yang sudah saya lupakan namanya. Itulah manusia tempatnya lupa, bahkan pada orang yang berjasa. Tapi saya yakin malaikat sudah mencatat semua effort guru-guru saya dalam mengajarkan ilmunya. InsyaAllah berkah menjadi amal jariyah, aamiin.

Betapa nikmatnya pahala amal jariyah yang kita rasakan saat kita sudah mati kelak. Setelah menyadarinya ingin juga mencicipi amal jariyah seperti itu, namun apa harus menyerah di saat ilmu membaca Al-Qur'an masih belum sempurna?

Jangan menunggu sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah.

Seperti kating saya di zaman mentoring dulu, mengajarkan mengaji di saat -- mungkin bacaannya belum benar-benar sempurna. Saya juga bisa melakukan hal yang sama. Tidak perlu jadi kating karena sudah tua, tapi memosisikan peran sebagai orang tua, mengajari anak-anaknya.

Anak-anak saya tidak mengaji di mushola kampung. Saya menyekolahkan mereka di sekolah Islam dan si sulung di pesantren. Alhamdulillah si sulung lebih baik bacaan ngajinya daripada saya. Sedangkan kedua adiknya, kadang-kadang saya mendengarkan mereka mengaji dan membetulkan bacaannya.

Anak-anak kitalah tanggungjawab kita, merekalah penentu takdir kita kelak. Ilmu yang kita ajarkan dengan tulus pada anak-anak kita, semoga menjadi penyebab mereka pun dengan tulus mendoakan kita saat kita tiada.

Sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya. InsyaAllah. Semoga kita semua sempat mengamalkannya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun