Perjalanan hidup membuatku terdampar di sebuah kota idaman banyak orang, Jogjakarta. Waktu itu tahun 2010 aku mendapatkan kesempatan lanjut studi di Universitas Gadjah Mada. Sebuah kesempatan spesial yang tak sembarang orang bisa mendapatkannya.
Aku jalani hari-hariku seperti biasa. Kuliah dan rumah tangga berjalan seiring sejalan karena kebetulan aku kuliah bersama suami, dan anak-anak semua ikut. Tidak berat justru mengasyikkan karena dunia lebih berwarna bersama orang-orang tercinta.
Kota idaman banyak orang, itulah Jogjakarta. Ada alasan mengapa aku menyebutnya demikian. Banyak teman-teman kantor yang ingin pensiun di Jogja. Dan kabarnya kantor-kantor pemerintahan di Jogja banyak mendapatkan surat permohonan untuk pindah ke kantor tersebut, dari orang-orang berbagai daerah.
Tidak hanya kuliah dan mengurus rumah tangga, aku kemudian melebarkan sayap pertemanan di Jogja. Sesuai hobiku yaitu menulis, aku gabung di sebuah komunitas penulis yaitu IIDN Jogja alias Ibu-Ibu Doyan Nulis cabang Jogja. Di sanalah aku bertemu Wening, yang sering kupanggil Mbak Ning.
Wening bekerja di sebuah instansi litbang di bawah Kementerian Sosial di Jogjakarta sebagai peneliti. Di sini kami memiliki satu kesamaan yaitu sama-sama peneliti. Aku waktu itu masih berstatus peneliti KLHK - kala BRIN masih sekadar wacana. Seingatku pertama kali bertemu Wening adalah saat ada giat IIDN Jogja di restoran tepi danau, Westlake. Wening datang dengan gaya riangnya...
Narasumber acara waktu itu adalah Dwi Suwiknyo, seorang writerpreneur muda yang penuh  semangat. Ia memotivasi peserta untuk menulis buku. Mbak Ning waktu itu membawa naskahnya berupa pengalaman penelitian sebagai peneliti dengan background ilmu antropologi. Naskah yang bertutur tentang interaksinya dengan suku-suku pedalaman. Pada beberapa kesempatan pertemuan selanjutnya, ia sering membawa naskah tersebut untuk ditawarkan ke penerbit.
Tahun 2021 ketika aku tak lagi di Jogja, Mbak Ning memberi kabar di WA grup bahwa naskahnya akhirnya terbit. Aku memesan satu dan ia kirimkan dengan coretan pesan yang manis: ia mendoakan agar aku juga dapat menulis pengalaman penelitian di hutan-hutan Sulawesi.
Ketika sebagai sesama peneliti kami dihadapkan pada pilihan apakah akan tetap menjadi peneliti atau alih jabatan fungsional karena  peneliti harus pindah ke BRIN, aku salut pada Mbak Ning yang memilih untuk tetap setia menjadi peneliti. Sebaliknya diriku yang walau bangga menjadi seorang peneliti, namun memilih untuk pindah jabatan menjadi penyuluh kehutanan. Walau sudah tak satu kolam, tapi japri-japrian retjeh nan ceria dari Mbak Ning sesekali masih masuk di ponsel, menyapaku.
Kembali ke masa-masa kami sering bertemu di berbagai kegiatan IIDN Jogja, aku nggak tahu sejak kapan kami dekat. Mungkin karena obrolan yang selalu nyambung dan klik. Kami sering ngobrol bersama dengan enam teman lain di IIDN Jogja. Kemudian Mbak Ning secara khusus meminta kami untuk terlibat mempersiapkan helat pernikahannya. Otomatis tidak hanya giat komunitas, kami lalu akrab berdelapan, akrab tidak hanya secara individu namun juga para suami ikut bergabung dan juga anak-anak.
Mbak Ning menambah keakraban setelah menceritakan kisah cintanya yang unik, lalu sekaligus mengundang kami untuk menghadiri pernikahannya yang ia setting sendiri dengan stylenya. Di akad dan pesta nikah yang sederhana itulah aku merasakan suka cita mbak Ning dan kebaikan hatinya. Bahagianya Mbak Ning, nular ke kami semua. Doa-doa kami semua tulus untuknya.