Secara redaksional dan pilihan diksi, saya akui sejak novel perdananya ini, S. Mara Gd sudah menunjukkan kepiawaiannya sebagai novelis. Gaya bahasanya lugas dan sederhana sehingga mudah dipahami. Mengalir dan lancar, sehingga pembaca terhanyut dan ingin membaca sekali duduk. Hanya saja sebagai penutup, agak panjang dan bertele-tele menurut saya, apakah karena sebagai penulis novel baru waktu itu, beliau ingin menorehkan semacam hikmah -- entahlah.
Kisah Dian Ambarwati membuka mata kita bahwa hal yang bagi kita biasa-biasa saja, sebenarnya bagi orang lain bisa menjadi sesuatu hal yang dianggap penting dan berbahaya. Mungkin jika saja Dian Ambarwati tidak terlalu banyak bicara yang tak penting, nyawanya masih dapat terselamatkan -- terlepas dari takdir ajal yang memang tidak dapat kita hindari.
Hal yang paling harus kita jaga memang adalah mulut kita. Bicara yang tidak perlu kadang bukan membuat kita dianggap baik, namun bisa menjadi bumerang bagi kita sendiri. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H