Dulu waktu saya kecil, saya mengira pengalaman lebaran setiap orang itu sama. Sama-sama gembira sudah selesai puasa, sama-sama gembira bisa salat ied di lapangan, sama-sama heboh menyiapkan lebaran dan memasak macam-macam.Â
Dan saya kira tradisi lebaran yang diciptakan orang tua saya secara otomatis harus saya terapkan juga di rumah tangga yang saya bangun.
Tapi tentu saja perkiraan anak kecil yang sangat lugu itu tidak benar. Rumah tangga dibangun atas dasar dua orang yang memiliki pengalaman masa kecil yang berbeda. Saya bersyukur suami tidak memaksakan harus masak macam-macam saat lebaran.Â
Because, saya bakal insecure juga kalau harus masak segala macam secara gagah perkasa kayak mama saya di waktu muda yang seolah ga pernah capai. Masakan yang saya masak hanya opor ayam itupun request suami adalah: masaklah yang anak-anak suka. Ya opor pun harus dicemplungin telur rebus karena itulah yang akan dimakan anak-anak. Ayamnya dimakan suami, saya dan si sulung.
Tradisi pun tercipta bukan karena warisan. Kedua orang tua saya melakukan kebiasaan lebaran lebih karena kondisi yang mengharuskan. Papa saya adalah komandan prajurit dan tentu saja banyak tamu yang datang dan harus disediakan suguhan khas lebarannya.
Kalau saya kan memang tidak pernah merasa harus open house. Â Capai juga kalau harus masak-masak banyak. Maka anak-anak saya tidak merasakan tradisi lebaran yang sama dengan saya. Mereka hanya salat ied, lalu ke rumah saudara. Kalau di rumah ya makan opor telur dulu hehehe.
Semoga anak-anakku tidak kecewa dengan tradisi yang biasa-biasa saja. Mereka bisa menciptakan tradisi sendiri kelak jika sudah membentuk keluarga sendiri.
Karena tidak pernah masak yang istimewa di hari lebaran, maka sebenarnya saya juga tidak mewarisi resep lebaran warisan keluarga. Malah kalau boleh jujur, resep warisan itu tidak ada. Masakan andalan mama saya saat lebaran adalah brongkos, tapi tidak ada anaknya yang diwarisi resep rahasia.Â
Kalau pengen masak brongkos kan tinggal browsing internet. Aneka resep berhamburan di dunia maya. Â Opor ayam yang biasa saya bikin saat lebaran juga bukan berdasarkan resep yang biasa dibikin mama saya. Cukup cari resep di medsos, atau kalau mau lebih praktis lagi ya pakai bumbu instan.
Begitulah, mungkin hanya keturunan raja-raja, keturunan chef ternama, dan keturunan owner restoran terkenal yang concern mengenai resep warisan keluarga ini.
Sekarang di saat saya menjadi ibu, yang penting itu bukan rasa dari masakan yang kita buat, melainkan kebersamaan sekeluarga itulah yang tidak bisa digantikan oleh apapun.