Salah satu hal yang identik dengan bulan Ramadan adalah bukber alias buka bersama. Ada masa di mana hampir setiap tahun kantor saya mengadakan bukber, namun tiga tahun belakangan ini sudah tidak pernah lagi. Rasa-rasanya era bukber mereda adalah pada saat era covid. Bagaimana tidak, mau ngumpul-ngumpul sedikit sudah dilarang.
Namun saya sama sekali tidak merasa kehilangan momen bukber, karena ada beberapa hal yang terasa kurang sreg jika mengikuti acara bukber. Yang pertama, makan seperti buru-buru; kedua, salat juga kurang tenang apalagi kalau tempat yang dipakai salat kurang representatif; ketiga, harus buru-buru pulang karena mau kejar tarawih di masjid.
Di bulan Ramadan saya inginnya tenang, di rumah memasak menu berbuka dan saur buat anak-anak dan suami, lalu bukber alias buka bersama dengan keluarga kecilku. Â Setelah itu bersiap pergi tarawih ke masjid dan pulang tadarus. Rutinitas yang simpel dan teratur.
Tapi bukan berarti saya anti bukber yang meriah dan rame-rame banyak orang, ya!. Kalau ada yang ngundang ya manakala sempat tentu saya sempatkan datang. Siapa juga yang nolak makan gratis, hehehe.
Kalau buka bersama dengan teman lama, bagaimana? Ya oke-oke saja buat saya. Kalau temannya banyak agak ribet terkait tempat salat dan lain-lain tadi. Tapi kalau teman lamanya sedikit misalnya 1 atau 2, bisa bukber yang lebih privasi, misalnya di rumah salah satu teman, kalau memang bersedia.
Tapi sebenarnya kalau soal ketemu teman lama, lebih enak kalau makan bersama, bukan dalam rangka bukber. Kalau makan bersama di luar bulan Ramadan, akan terasa lebih bebas dan obrolan lebih gayeng.
Nah, begitu sih kalau pendapat saya. Ingat, saya tidak anti bukber lho, ya? Jadi jangan ragu mengundang saya buka bersama, ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H