Jangan kau besar mulut, kata orang dulu. Membual dan berkata omong kosong. Sumpah serapah dan ejekan. Segala macam yang sengak keluar dari mulutmu hampir sama seperti yang keluar dari belakangmu.Â
Sekarang ada yang lebih mudah daripada sekadar berbesar mulut, yaitu berpanjang jari. Tak henti jarimu mengetikkan kata-kata sengit, pedas dan umpatan. Mudah sekali apalagi kau pakai nama samaran. Bersembunyi di balik topeng. Merasa aman dari balasan yang lebih kejam.
Sebelum kau teruskan berbesar mulut berpanjang jari, sudahkah kaupikirkan masak-masak akibatnya? Sudah merasa banggakah kau pada tingkah lakumu? Ibumukah yang ajarkan, atau ayahmu?
Bahkan jika dari orang tuamulah sifat buruk kauperoleh, tak bisakah engkau belajar karena engkau jelas lebih pintar dan lebih punya banyak kesempatan di banding kedua orang tuamu yang mungkin mendapatkan pendidikan kurang layak dibandingkan dirimu?
Jika kedua orang tuamu bukan contoh yang baik untuk engkau tiru, bukankah engkau lebih paham siapa yang harus engkau gugu?
Jangan berkiblat pada orang biasa, karena mereka mudah dibolak-balikkan oleh nafsu. Tirulah nabimu.
Bahkan jika nabimu hidup di zaman digital, sampaikah pada pikiranmu bahwa beliau akan berpanjang tangan mengolok bahkan pada musuhnya yang paling kejam sekalipun?
Itu tidak akan ada dalam benak seorang nabi yang suci. Kalaupun seorang nabi akan eksis di dunia digital, pasti itu dimanfaatkan untuk memperluas dakwahnya.Â
Kami bukan nabi, kalau kami ya memang begini ini, kami netijen yang maha benar, kamulah yang sok suci!
Tapi bukankah kita harus mengikuti sunnah nabi?