Sebelum menulis tema Samber hari ke-25 ini, saya sudah memiliki ide di kepala, namun tiba-tiba tadi pagi pernyataan seorang teman membuat saya merenung. Pernyataan teman saya itu seperti ini: ...apalagi kamu yang pindah-pindah kampung halaman...
Saya jadi memikirkan lebih dalam lagi alias overthinking, sebenarnya kampung halaman saya itu di mana? Bolehkah saya mengaku Malang adalah kampung halaman seperti yang selama ini saya yakini?
Saya sendiri lahir di Semarang saat Papa saya bertugas di kota tersebut. Aslinya kedua orang tua saya asli Jawa Timur, tepatnya Lamongan, namun mereka berdua juga berpindah-pindah kampung halaman sejak kecil. Mama karena anak tentara, jadi selalu ikut Mbah Kakung berpindah tempat tugas. Papa karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang baik, sering numpang pada saudaranya saat kecil sebelum kemudian menjadi tentara dan penempatan pertamanya di Malang.Â
Saya yang anak kolong akhirnya tumbuh besar di kota yang berbeda-beda mulai dari Semarang, Sumenep, Sidoarjo, dan Malang. Karena kota terakhir tempat Papa pensiun adalah Malang, dan saya juga menghabiskan masa-masa SMP, SMA, dan kuliah S1 di kota Malang, maka saya pikir tepatlah jika saya menganggap Malang adalah kampung halaman.
Setelah menikah dan kemudian menetap di Kota Makassar, mudik ke Malang adalah sebuah keniscayaan. Mudik itu bukan sekadar pulang ke kampung halaman, tapi pulang menjenguk orang tua. Jadi sebenarnya kampung halaman itu bukanlah sebuah tempat atau kota atau rumah masa kecil. Mudik atau pulang kampung adalah pulang ke asal lahir kita, ke yang melahirkan kita.
Saya termasuk orang yang harus bersyukur karena di usia saya yang sudah tidak muda lagi, kedua orang tua saya masih sehat walau sudah sepuh. Mereka berdualah tempat saya berbakti, namun karena jarak memisahkan, maka saya tidak bisa mendampingi mereka setiap saat. Mereka hanya bisa saya jumpai saat saya pulang kampung, satu atau dua kali dalam setahun.
Beberapa tahun yang lalu saat mama saya masih kuat masak setiap hari, yang saya rindukan dari kampung halaman adalah masakan mama. Tak ada yang lebih enak daripada masakan mama saya. Biasanya jauh-jauh hari saat saya mengabarkan bahwa saya akan datang, mama akan bertanya saya mau dimasakkan apa.
Maka berderet menu masakan rumahan yang ingin saya makan, saya sebutkan. Biasanya saya bilang saya ingin makan sup kacang merah, bothok tahu tempe, lodeh kacang kara, dan mangut lele. Mama saya dengan ringan hati akan memasakkan semua menu yang saya inginkan.Â
Saat ini mama saya sudah jarang masak. Biasanya kalau bukan kakak saya yang masak, maka mereka lebih memilih beli masakan di warung. Ternyata menurut kakak, kadang kedua orang tua saya malas makan makanan rumah dan baru mau makan jika membeli di luar. Tentu saja kakak berusaha memenuhi semua permintaan orang tua yang sudah sepuh.
Jika saya datang dari Makassar, saya sudah tidak lagi meminta mama memasak. Paling saya ikut menemani kalau mama dan papa mau makan di luar, seperti kemarin papa mau makan ikan goreng di Dempok, salah satu tempat makan ikan di Malang Selatan. Perginya pun papa setir mobil sendiri padahal jarak lumayan jauh dan usia papa sudah 81 tahun. Semoga papa saya selalu diberi kesehatan, aamiin.