Privilese itu pun tak membuat saya dan kakak saya menjadi sombong. Apa yang mau disombongin ya, wong cuma nonton bioskop tiap hari saja kok. Apalagi waktu itu masih culun-culunnya, tahunya hanya senang-senang saja.Â
Tapi sekarang saya mikir, andai waktu itu sudah ada sosmed dengan budaya bersosmed seperti sekarang ini, apa iya saya dan kakak tetap seculun itu? Kadang berangkat nonton cuma pakai baju tidur (baby doll) saking merasa biasanya pergi ke gedung bioskop kayak main ke rumah tetangga (kebetulan letak bioskop juga tak jauh dari rumah).
Saya mikir mungkin akan lain ceritanya jika waktu itu sudah ada medsos. Mungkin saya dan kakak akan berpakaian segaya mungkin, lalu berfoto di depan poster film dengan pose sok angkuh, dan memasang foto tersebut di status medsos dengan caption: nonton ini bagus nggak yaaa...ada yang sudah nonton?
Atau hanya menuliskan status narasi tanpa gambar: Eeh, film bla bla bla bagus banget rugi kalau kalian belum nonton, aku aja nonton mpek tiga kali.
(( Ya iyalah tiga kali, kan bebas kalau gratisan )).
Akhir kata, privilese itu sesuatu hal yang wajar, namun harus tahu batasan bagaimana memanfaatkan privilese tersebut. Jangan berlebihan, jangan mentang-mentang, jangan suka pamer-pamer.
Apalagi kalau statusmu hanya anak atau istri/suami yang kecipratan privilese. Biasa saja nggak usah norak, tetap humble karena seperti roda, hidup itu berputar.Â
Dia yang hari ini mendapat privilese, bisa saja besok tergelincir dan harus masuk bui gara-gara berlebihan menggunakan privilese. Salam.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H