Kepala Anisah terasa pening, sementara Lara terus nyerocos di sampingnya.Â
"Jadi kamu seharian kemarin ngapain aja? Kok naskahnya belum selesai-selesai?" tanya Lara melirik Anisah.
"Tidur," jawab Anisah pendek. Ia malas meladeni kekepoan Lara. Masak iya, dia harus menjelaskan seharian dia ngapain saja. Apa perlu dia nulis diary dan menyodorkannya untuk menjawab kekepoan Lara?
"Masak seharian tidur?" desak Lara.
"Ya, masak jugalah. Salat. Mandi. Duduk-duduk."
"Itu saja?" tanya Lara lagi.Â
"Lupa, La. Aku ngapain aja. Yang kuingat ya tidur. Ngapain juga aku ingat-ingat kejadian kemarin. Intinya naskah itu belum selesai. Tidak aku kerjakan. Sekarang aku mau ke ruanganku dulu untuk mengerjakan naskah itu," Anisah beranjak pergi.
Lara tertawa, "Marah, niye ...," guraunya meledek Anisah.
Anisah hanya tersenyum kecut. Sesampai di ruangannya, sakit kepalanya semakin menjadi. Ia mengambil matras dan menggelarnya di belakang meja kerja. Memilih ceruk tersembunyi di ruangannya untuk merebahkan diri, sekadar meredakan sakit kepalanya.
Ia hampir dapat mengistirahatkan kepalanya, ketika suara kencang Lara kembali mengganggunya.
"Ya, ampun! Tadi katanya mau kerja naskah! Kok, sekarang malah tidur! Bukannya seharian kemarin kamu sudah tidur? Hai, Nisah, bangun, hoi!"
Anisah tak bisa lagi menahan kesabarannya.
"Kepalaku sakit, aku mau rebahan sebentar. Please, jangan ganggu ya?"
"Ih, kenapa tiba-tiba jadi sakit kepala? Tadi baik-baik saja?" kejar Lara.
Mungkin kalau detik itu sakit kepala yang mengganggunya sejak pagi membuatnya pingsan, Lara baru mau menutup mulutnya. Tapi rasa sakit kepala itu tidak sampai membuat Anisah pingsan, hanya berdenyut semakin kencang.
Anisah bangkit, terhuyung meraih tasnya.
"Hei, kenapa kau, Nisah? Drama banget!"
Anisah tak menjawab, hanya berjalan pergi. Ia memutuskan untuk pulang saja.
"Hei, Nisah! Kau marah ya? Nisah! Ih, gimana sih, malah pergi gak njawab pertanyaan orang. Dasar nggak sopan!" Lara menggerutu karena ditinggal oleh Anisah.
Saat itu Tiara, teman seruangan Anisah datang dan duduk di kursinya, menyalakan laptop. Ia diam saja, tidak menyapa Lara yang masih duduk di kursi Anisah.
"Hei, Tiara. Baru datang? Telat, ya?"
"Iya, bukan urusanmu juga aku telat atau nggak. Yang dipotong juga uang gajiku, bukan uang gajimu, La."
"Ih, sadis amat jawabanmu," Lara tertawa. Dalam hati dia menggumam, Anisah dan Tiara sama-sama kurang punya sopan santun.
"Kenapa tuh teman seruanganmu, si Anisah. Pagi-pagi begini sudah ngibrit keluar kantor. Ditanya baik-baik malah diam saja cuekin aku," Lara kembali nyerocos.
"Mungkin Kak Nisah lagi sakit kepala. Akhir-akhir ini dia sering sakit kepala."
"Ooh, sakit kepala benaran? Kukira cuma akting!" Lara tertawa.
"Jadi orang jangan suka curigaan, La."
"Wajar dong aku curiga, lha wong tadi sebelum kesini dia ke ruanganku baik-baik saja."
Tiara menghela napas, enggan menanggapi Lara. Lagipula ia punya deadline kerjaan juga.
"Mungkin tadi pagi dia baik-baik saja, tapi begitu ketemu kamu langsung sakit kepala," jawab Tiara santai.
"Ngawur aja kamu tu, Tiara. Sebelum ngomong itu dipikir dulu baik-baik!" kecam Lara.
"Udah deh, La. Aku mau kerja. Kalau ngomong sama kamu, nggak kerja-kerja, yang ada kita adu mulut terus. Kamu juga kalau sebelum ngomong pikir dulu, apakah omongan kamu itu enak di telinga apa nggak."
"Ya, aku itu orangnya emang gini. Apa adanya, jujur."
Tiara menghela napas, mengangkat laptopnya bersiap pergi.
"Heh, mau kemana kamu, Tiara?"
"Mau kerja di perpus aja. Nggak boleh?"
"Ih, lebay amat. Sudah, nggak usah ke perpus. Aku mau kembali ke ruanganku. Kamu di sini aja!" Lara pun keluar sambil bersungut-sungut.
Tiara buru-buru mengunci pintu agar ia bisa bekerja dengan tenang tanpa gangguan.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H