Aku masih melakukan tugasku sebagai seorang ibu, memasak menyiapkan makan siang. Tempe goreng tepung, sayur sawi wortel udang, ikan goreng dan sambal. Hidangan sederhana biasa-biasa saja. Ketika lintasan kenangan datang menghampiri.
Berawal dari deretan foto reuni yang tak bisa kuhadiri. Deretan wajah orang-orang yang sudah jauh berubah karena pertambahan usia. Yang tetap ingin dekat seperti puluhan tahun lampau. Bercanda ria bersama dengan tagline seduluran selawase.
Tiba-tiba aku teringat kamu. Rivalku di kelas satu. Barangkali tak ada yang tahu aku menganggapmu rival. Kau sendiri mungkin hanya menganggap aku kerikil. Aku tak pernah tahu kita pernah saling anggap apa karena kita nyaris tak pernah bicara. Karena lidahku kelu, dan kau tampaknya bisu.
Tiba-tiba aku teringat kamu, walau tak ada kamu di deretan foto itu. Kuakui memang kepintaranmu luar biasa dulu. Tapi aku akan lebih mengagumimu jika ada jejak kata yang kautorehkan di jagad maya. Mungkin karena aku sering mengaku-aku sebagai penulis, maka aku sering mencari teman lama yang juga senang menulis.
Tapi namamu lagi-lagi tak ada. Tulisanmu juga nihil adanya. Memang kamu bukan tipe orang yang suka menuangkan perasaan, meskipun itu hanya di ruang sunyi. Ataukah ada ruang-ruang yang memang sengaja kaukunci, agar tak ada seekor kucing pun yang dapat masuk mengeong di sana.
Sambalku sudah jadi, bersamaan dengan kuakhiri lintasan kenangan yang tiba-tiba menghampiri. Hei, kau yang jauh di sana. Semoga kebahagiaan senantiasa meliputimu dan keluargamu, seperti aku yang sudah senang di sini.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H