Topik pilihan Kompasiana kali ini sangat menarik. Bagaimana kita menampilkan wajah kita dalam real life sehari-hari, versus di medsos. Apakah sama apa adanya - ataukah kita menjelma menjadi orang yang tottaly different di media sosial?
Berbicara tentang medsos, mungkin pertama kali aku mengenal medsos adalah saat facebook booming di awal kemunculannya. Sekitar tahun 2009? Cmiiw.Â
Facebook datang sebagai mainan baru yang menyenangkan. Apalagi kemudian melalui facebook-lah jejak pertemanan mulai dari teman TK hingga perguruan tinggi dapat terlacak.Â
Cukup ketik nama teman yang kamu cari di kolom search, maka jika dia punya akun facebook - pasti dia akan segera terpampang nyata di layar gadgetmu.Â
Seolah sulapan, karena mungkin kita sudah bertahun-tahun mencari seseorang, lalu tiba-tiba dia muncul begitu saja setelah kita mengetik namanya.
Oke, facebook adalah medsos pertama buatku dan sampai detik ini masih merupakan medsos yang paling nyaman buatku karena mudah dioperasikan. Facebook juga mengizinkan kita mengetik narasi yang cukup panjang, dan hobiku membuat status panjang.Â
Setelah beberapa waktu - aku kurang yakin urutannya - aku juga kemudian memiliki akun twitter, instagram, linkedin, blog personal, platform novel online dan Kompasiana. Bagaimana aku merepresentasikan diriku di semua medsos itu? Tentu saja semua adalah diriku yang asli.Â
Namun demikian penting untuk diingat, kita tidak bisa menilai jati diri seseorang hanya dari status medsosnya. Karena walaupun aku dengan percaya diri mengatakan bahwa semua statusku di medsos itu asli, jelas status-status itu tidak bisa mewakili diriku secara utuh.Â
Maksudku begini, entah ini pencitraan atau bukan. Aku sering bercerita tentang kelucuan anak-anakku di facebook. Bagi pembaca, mungkin disimpulkan bahwa anak-anakku lucu dan aku adalah ibu yang santuy.Â