[caption caption="MulungElmu, program Menyapa Indonesia bekerjasama dengan LPDP & Angkatan 46LPDP untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat daerah tertinggal "][/caption]
Â
Pernahkah pembaca datang ke daerah hunian pemulung? Bagaimana kondisi di sana? Bila melihat gambar di bawah ini, maka kata apakah yang langsung terlintas di benak kita?
[caption caption="Pemukiman Pemulung"]
Â
[caption caption="Pemukiman pemulung"]
Â
Mungkin ada yang menjawab : hunian pemulung, banyak sampah, banyak barang bekas, kumuh, kotor, jorok, dan lain sebagainya. Gambar di atas adalah lapak pemulung, lebih tepatnya lapak pemulung bos Basri. Terletak di Jalan Jati Padang Poncol, Gang Menara di depan SMP Negeri 218 Jakarta Selatan.  Dari Kelapa Gading Jakarta Utara saya naik Gojek ke sana, untunglah pak Gojek canggih, dengan menggunakan GPS di telepon genggamnya bisa mengantar saya ke Lapak Pemulung yang agak terpencil di pemukiman penduduk. Di situ tinggallah beberapa keluarga pemulung yang kerjanya mengumpulkan sampah dan barang bekas yang mungkin bisa didaur ulang. Demi memenuhi kebutuhan hidupnya mereka bekerja setiap hari memulung sampah tanpa libur, libur hanya di saat mudik saja atau bila berhalangan kerja. Terkadang walaupun kepala keluarga sudah bekerja namun penghasilannya tetap saja kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, maka istri dan anak pun ikut bekerja memulung sampah. Sangat miris.
[caption caption="Ibu Pemulung asal Kupang bersama anaknya yang bercita-cita ingin menjadi dokter"]
Â
Seorang warga daerah sekitar situ bernama Erwin Saleh atau dikenal sebagai Bang Satim merasa terpanggil hatinya tatkala melihat banyak para pemulung cilik yang putus sekolah bekerja mengais rezeki demi membantu perekonomian keluarganya. Ditambah pula dengan pandangan negatif yang sudah menempel kepada para pemulung, misalnya pandangan bahwa pemulung adalah maling, suka ambil barang orang lain, tidak berpendidikan, miskin, dan lain sebagainya. Bang Satim jadi merasa terenyuh, ia merasakan ia yang hanya tamatan SMA saja merasa menyesal tak mampu melanjutkan sekolah lebih tinggi, ia mencari kerja juga sulit,  bila ia menjadi sarjana mungkin saja nasibnya akan jauh lebih baik. Dia melihat para pemulung cilik saja belum tamat SD sudah putus sekolah, maka bagaimana kelak nasibnya? Bisa-bisa tetap mengikuti profesi orangtuanya yang pemulung, maka Bang Satim berniat ingin membantu mereka dan ia juga ingin merubah pandangan negatif masyarakat tentang pemulung.