Mohon tunggu...
Indah Noing
Indah Noing Mohon Tunggu... Lainnya - Maminya Davinci

Ibu rumah tangga biasa, punya 3 krucils, pernah bekerja sebagai analis laboratorium klinik selama 10 tahun. Selalu berharap Indonesia bisa maju dan jaya tak kalah dari negeri yg baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Hari Pahlawan) "Bangkitlah Dini ! Perjuanganmu Masih Panjang"

10 November 2013   23:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_277254" align="alignnone" width="601" caption="ilustrasi: Dini, seorang analis laboratorium kesehatan"][/caption]

“ Dini, kamu kenapa menangis?” tanya Shanti ketika mendapatkan Dini terisak di kursi sudut kamar mess mereka.
“ Aku harus pulang ke Jawa sekarang Shan, adikku.. adikku.. hiks..hiks” Arini tak kuasa melanjutkan bicaranya, tangisnya pecah lagi, ia langsung menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
“ Arini kenapa Din? Arini kenapa?” tanya Shanti, hampir histeris ia bertanya.
“ Pagi ini Arini meninggal, terserang demam berdarah Shan,hiks”
“Oh, kasihan Arini, aku ikut sedih ya Din.” Kata Shanti, ia pun cukup kaget mendengar berita duka ini.
“ Kemarin Mbok Yem yang menemukan Arini sudah terkulai lemas di tempat tidurnya dan menemukan obat penurun demam yang sudah habis di meja kamarnya. Si Mbok langsung minta bantuan tetangga membawa Arini ke rumah sakit, Arini langsung dirawat tapi pagi ini ia meninggal, hiks. Dokter bilang dari hasil labnya Arini diketahui sakit demam berdarah dan thypoid,hiks.” Arini menceritakan berita duka yang baru didapatnya pagi itu.
Shanti langsung memeluk Dini sahabatnya itu, ia pun tidak kuasa berkata-kata, saat ini ia hanya bisa menyediakan bahunya tuk tempat Dini menangis, ia bisa merasakan kesedihan Dini, baginya Arini adik Dini sudah seperti adiknya juga, ia juga sangat sayang kepada Arini. Ia tak menyangka Arini meninggal dunia di usia yang masih muda.
“ Sabarlah Din, mungkin ini sudah kehendak Illahi bila Arini pergi menyusul ayah ibumu di Surga.” Akhirnya Shanti bisa berucap sedikit.
“Hiks, aku yang salah Shan, andai aku tetap berada di Semarang dan tak menuruti egoku merantau di sini mungkin Arini masih bisa tertolong. Nasib Arini ironis, ia mempunyai kakak seorang analis yang juga mempunyai banyak kenalan dokter namun kakaknya tak dapat menolong adik yang sakit. Aku tak berguna Shan, aku menyesaaal, hiks.” Tersedu Dini mencurahkan sedihnya.
“Sejak ibu bapak tiada Arini sering begitu, ia memendam sendiri rasa sakitnya, mungkin kali ini ia pun berpikir ia hanya sakit demam biasa, kebetulan juga selama 2 hari kemarin si Mbok pergi ke rumah adiknya di kampung sebelah.Saat si Mbok kembali ia melihat Arini sudah lemas tak berdaya. Ahh andai aku ada bersamanya mungkin aku akan langsung membawanya ke rumah sakit lebih awal dan mengecek darahnya di lab, betapa aku sangat menyesal Shan, hiks.” ucap Dini penuh rasa sedih dan penyesalan. Shanti cuma bisa terdiam, ia juga bingung harus menjawab apa, hatinya juga ikut perih melihat sahabatnya sangat terpuruk dalam kesedihannya. Namun ia sebagai satu-satunya orang yang paling dekat dengan Dini kini harus bisa menguatkan dan membantu Dini menghadapi dukanya ini.
“Aku kan ke Semarang menemanimu Din, Arini sudah kuanggap adikku sendiri. Aku pun ikut terpukul akan berita ini. Sabarlah dan tabahlah Din, ini sudah kehendak-Nya, ikhlaskanlah Din.” Ucap Shanti mencoba menguatkan sahabatnya itu.

Siang itu juga mereka langsung berangkat ke Semarang, segala sesuatunya Shanti yang mengurus, membeli tiket pesawat, menuntun Dini mencari kursi di pesawat. Dini seperti orang linglung, pikirannyaseperti jauh berkelana. Kerjanya hanya diam termangu, sebentarmenangis, kadang muncul senyumnya sedikit lalu tak berapa lama air matanya mulai menetes lagi.

Shanti dan Dini adalah 2 sahabat karib sejak di bangku SMP. Mereka pun selalu sekelas di masa SMA. Setamat SMA Shanti melanjutkan kuliah di bidang Kedokteran sedangkan Dini melanjutkan kuliah di bidang Analis Kesehatan. Persahabatan mereka tetap terjalin erat. Sejak ayah ibu Dini meninggal karena kecelakaan maka Dinilah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dini bekerja di salah satu rumah sakit diSemarang selama 2 tahun. Jiwanya yang ingin berpetualang, ingin mengetahui daerah lain selain Jawa menariknya mengikuti ajakan Shanti tuk merantau di Kalimantan. Dini dan Shanti serta beberapa rekan profesi medis bekerja di sebuah klinik milik perusahaan pertambangan. Klinik tersebut tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan kepada para pekerja pertambangan namun juga bagi warga sekitar perusahaan pertambangan berada. Gaji Dini cukup untuk membiayai hidupnya, membayar gaji si Mbok Yem, membayar kuliah Arini.
Shanti dan Dini sangat menyukai pekerjaannya. Mereka bekerja sama memberikan pelayanan kesehatan bagi yang membutuhkan. Masyarakat di sana yang tadinya tidak menyukai keberadaan mereka pun mulai sayang kepada mereka dan warga mulai percaya memeriksakan penyakitnya di klinik. Shanti yang seorang dokter melakukan pemeriksaan fisik kepada pasiennya, menduga penyakit yang kira-kira di derita sang pasien. Untuk menguatkan diagnose tersebut maka Dini yang bertugas memeriksa pasien dengan mengambil sedikit bahan pemeriksaan berupa darah,urin bahkan tinja, sputum, dan lain sebagainnya dari sang pasien untuk diperiksa di laboratorium. Bila sudah ada hasil lab maka dokter dapat memastikan penyakit sang pasien dan menentukan terapi obat yang tepat agar sembuh penyakit yang diderita sang pasien. Begitulah mereka bekerja sama di rantau sana. Terkadang mereka ikut membaur dengan kegiatan warga membagi tata cara hidup sehat sedikit demi sedikit kepada warga sekitar. Bila malam hari mereka sering membantu belajar anak-anak yang tinggal dekat mess mereka.


Sudah seminggu Dini dan Shanti di Semarang. Arini sudah dimakamkan dekat dengan makam ayah ibunya. Dini masih sedih, setiap hari ia tidur di kamar Arini, dibiarkan segala sesuatu dikamar itu seperti sedia kala, baju kotor Arini pun masih tergantung di gantungan baju di tembok kamar. Buku-buku materi kuliah Arini pun masih berserakan di atas meja belajarnya. Buku Diary Arini pun masih terbuka, di lembar terakhir ada tulisan “ Teruslah berjuang mbak Dini, gapailah mimpimu, cita dan cintamu mbak. <3 <3 adikmu tersayang arini”

“Dini, aku mengerti perasaanmu, tapi maafkanlah aku bila aku berkata lancang padamu saat ini. Kita sudah seminggu di sini Din, meninggalkan pekerjaan kita. Ayo kita kembali ke Kalimantan Din. Warga di sana membutuhkan kita.” Kata Shanti pagi itu saat mereka sarapan. Mbok Yem membuatkan nasi goreng special pake telor dan sedikit wortel kesukaan Dini, minumannya teh lemon hangat.
“Aku tak mau kembali Shan, aku merasa diriku tak berguna, aku seorang analis lab namun aku tak bisa menolong adikku sendiri di kala sakit. Biarlah aku tetap di sini bekerja apa saja namun tidak di lab lagi. Tolonglah mengertilah Shan, berada di lab akan membuatku semakin merasa sedih, merasa tak berguna, bayang-bayang Arini yang sakit selalu menghantuiku.” Ucap Dini.
“Dini ! Tak baik kau berkata seperti itu ! Maaf kali ini aku harus tegas padamu. Sudah seminggu ini kau terpuruk menyedihkan seperti ini, merutuki dirimu bersalah atas kepergian Arini, menyesali segala yang telah terjadi. Kepergian Arini adalah sudah suratan takdir Illahi. Bila Tuhan sudah berkehendak maka Arini meninggal atau kita pun bisa meninggal bukan hanya karena sakit demam berdarah, bisa saja meninggal tiba-tiba oleh sebab yang lain. Kau sendiri juga pernah bilang kalau jodoh, rezeki dan maut itu di tangan Tuhan. Tapi apa yang kau lakukan sekarang? Kau seperti tidak mempercayai hal tersebut, kau tidak mengikhlaskan kepergian Arini.” Panjang lebar Shanti menasehati Dini.
“Belajarlah dari pengalaman orang lain Din ! Kau tahu ibu Tika Bisono? Anaknya pun meninggal dunia karena sakit demam berdarah, tapi kau lihat sekarang, apakah ia tetap merutuki dirinya sepertimu? Kau pasti tahu, ia malah menjadi duta demam berdarah, ia melakukan penyuluhan-penyuluhan ke masyarakat untuk memerangi nyamuk demi menanggulangi penyakit demam berdarah.”
“Kau ingat guru SMA kita, bu Aminah? Anaknya hilang saat mendaki gunung dan saat ditemukan ia sudah meninggal. Apakah setelah itu bu Aminah merutuki dirinya dan berhenti tak menjadi guru? Justru sekarang ia selalu aktif menasehati para murid agar berhati-hati dalam segala kegiatan. “
“Kau ingat dokterSlamet? Anaknya meninggal karena terkena hepatitis. Apakah ia merutuk dirinya dan tak ingin bekerja mengobati pasien yang membutuhkan jasanya? Dokter Slamet pun tetap mengabdi di rumah sakit kan?”
“Belajarlah dari mereka Din ! Bangkitlah! Kau sahabat baikku, kau sebatang kara kini, tak mungkin bagiku meninggalkanmu sendiri di sini. Kita harus kembali merantau, warga di sana butuh kita Din.” Shanti berusaha menasehati Dini.
“Aku rasa aku butuh waktu Shan, tak mudah bagiku menerima cobaan ini. Rasanya aku ingin tenggelam saja ditelan bumi, derita ini terlalu berat dan pahit bagiku.” Ucap Dini akhirnya.
“Baiklah, tapi kau tetap harus ikut kembali ke Kalimantan bersamaku. Aku tak mau meninggalkanmu di sini dengan kondisi sedihmu ini.” Kata Shanti.

Keesokan harinya mereka kembali ke Kalimantan. Rupanya kehadiran mereka sudah dinantikan para karyawan pertambangan dan warga di daerah sana. Seminggu kemarin bidan Susi yang bertanggung jawab di klinik tersebut, bila ada kasus penyakit berat maka pasien akan dirujuk ke rumah sakit di kota.
Dini masih belum siap kembali bekerja di lab, ia masih butuh waktu menghilangkan rasa bersalah atas meninggalnya Arini. Ia masih belum ikhlas bahwa kehendak Tuhanlah Arini pergi. Ia masih merutuk bila saja Arini tertolong lebih awal tentu Arini masih hidup. Hingga pada suatu hari terdengar olehnya“Diniii.. kamu di manaaa?” Shanti memanggil namanya.
“Aku di sini, ada apa Shan?” Jawab Dini.
Shanti menghampiri Dini yang sedang duduk di pinggir kolam ikan dekat mess mereka.
“ Tolong bantu aku Din, ada pasien anak demam tinggi, aku curiga dia kena malaria. Tolong kau periksa darahnya segera Din ! Aku sudah ambil darahnya. Ayo cepat !!”
Shanti langsung menarik tangan Dini tanpa menunggu jawaban Dini, mau tidak mau Dini ikut melangkah menuju laboratorium. Langkah Dini tiba-tiba terhenti di depan pintu lab, ada pertarungan di dalam hatinya antara ia sudah membenci pekerjaannya sebagai analis lab namun ada pasien yang sedang membutuhkan keahliannya.
“ Dini, ayolah Din, bangkitlah Din ! Perjuanganmu masih panjang. Lawanlah rasa bersalahmu. Tenaga dan keahlianmu dibutuhkan saat ini Din. Bantulah kami ! Ayah ibumu dan Arini di sana pasti sedih melihatmu seperti ini. Buat mereka bangga padamu, kini sudah waktunya kau bekerja kembali di lab. Ayo cepat periksa darah itu segera, cito !!Ucap Shanti sambil tersenyum. Ahh sudah lama Dini tak mendengar kata ‘cito’ kangen juga ia mengerjakan yang sifatnya cito-cito.

[caption id="attachment_277267" align="alignnone" width="591" caption="Ilustrasi: Dini sedang memeriksa sedian apus darah di mikroskop."]

13841013001997596415
13841013001997596415
[/caption]

Dini segera memeriksa darah pasien tersebut, pemeriksaan yang diminta adalah Hematologi rutin dan cek malaria. Dengan menggunakan mikroskop mata jeli Dini mencari sel darah merah yang dihinggapi parasit Malaria pada sediaan apus darah yang dibuatnya. Ternyata tepatlah dugaan Shanti kemungkinan pasien terkena Malaria. Dini menemukan parasit malaria dalam sel darah merah pasien. Shanti memberikan terapi pengobatan yang tepat kepada pasiennya tersebut.
“Minum obatnya ya dek dan jangan lupa berdoa, semoga Tuhan menyembuhkan sakitmu. Amiin.” Selalu begitu ucap Shanti kepada para pasien.

“Makasih ya Din atas bantuanmu hari ini” Ucap Shanti.
“Ayah ibumu dan Arini pasti bangga padamu Din.” Lanjut Shanti bicara.
“Sama-sama Shan.” Jawab Dini. Ada perasaan yang terlepas dari sudut hatinya saat ia merasa sudah membantu sang pasien.
Begitulah setiap ada pasien yang membutuhkannya maka Dini selalu siap membantu. Perlahan namun pasti Dini mulai bisa bekerja seperti dahulu.

Hari ini bulan November, tanggal 10, di teras mess Shanti dan Dini sedang sarapan pagi sebelum berangkat ke klinik, matahari pagi bersinar cukup bersahabat, tidak terlalu panas tidak terlalu mendung, cerahlah.
“Makasih ya Shan!” ucap Dini tiba-tiba, membuyarkan lamunan Shanti pagi itu.
“Makasih tuk apa Din?” tanya Shanti
“ Terimakasih atas nasehat-nasehatmu. Kau telah menyadarkan aku, bersabar terhadap aku, membantuku melawan keterpurukanku selama ini.” Jawab Dini.
“Ahh Dini,kita kan bersahabat, sudah seharusnya aku seperti itu,bila nanti aku terpuruk kau pun pasti akan melakukan hal yang sama padaku.”Ucap Shanti
“Tidak hanya tugasku Din, ketahuilah tugasmu pun sangat mulia, jasamu sangat dibutuhkan di negeri ini bahkan hingga ke pelosok harusnya ada tenaga analis, tidak cuma tenaga dokter. Kau harus bangga akan profesimu dan selalu tumbuhkan rasa ingin memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat. Tak banyak orang yang berprofesi sepertimu. Di luar sana tak banyak yang tahu bagaimana kau bekerja memeriksa bahan-bahan pemeriksaan dari pasien, walaupun sebenarnya bahan itu menjijikan bagi banyak orang, bergumul dengan bakteri, virus dan parasit penyebab penyakit yang mungkin juga menginfeksimu. Cukup berbahaya juga resiko pekerjaanmu. Kamu tahu Din? Kamu juga seorang pahlawan lhoo… Bila sebutan tuk guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka kusebut analis adalah pahlawan tak dikenal yaa..hehehe..” panjang kali lebar Shanti berbicara tapi ujung-ujungnya malah bercanda.
“Ya sudahlah Shan, kita semua harus berjiwa pejuang dalam memajukan negeri ini, gak papa deh analis disebut pahlawan tak dikenal, asal jangan disebut pahlawan kesiangan ajah yaa.. Hehehe..” Ucap Dini.
Shanti ikut tertawa,ia senang Dini sahabatnya sudah bisa bercanda lagi seperti dulu. Semoga mendung di hati Dini segera berlalu hilang terganti oleh pelangi nan indah.

SELESAI

Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Oleh Indah Noing No.56

Note: Semua tokoh dan cerita ini adalah fiksi belaka, bila ada kesamaan nama, tempat dan cerita maka itu cuma kebetulan yaa.. Makasih ya Ika dan Eqi tuk foto-fotoilustrasi fiksi ini, rambut Eq tetap kelihatan keren kok.

Kepada teman-teman analisku, Selamat Hari Pahlawan yaa.. kalian pahlawan juga lhoo.. semoga Pemerintah Pusat akan lebih memperhatikan segala sesuatunya demi kesejahteraan dan kemajuan profesi analis di Indonesia.
Jayalah negeriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun