Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, hiduplah seorang pemuda bernama Akmal. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang petani sederhana, dan ibunya menjual kue keliling kampung. Meski hidup serba pas-pasan, Akmal memiliki tekad besar: ia ingin menjadi orang yang berilmu dan bermanfaat bagi banyak orang.
"Menuntut ilmu itu wajib, Nak," kata ayahnya suatu malam. "Kalau kau harus ke negeri seberang untuk mencari ilmu, jangan ragu. Pergilah."
Kata-kata itu tertanam kuat di hati Akmal. Ia sering mendengar pepatah tentang menuntut ilmu hingga ke negeri Cina, dan hal itu menjadi inspirasinya. Cina, bagi Akmal, adalah lambang kerja keras, pengetahuan, dan kebijaksanaan.
Suatu hari, saat membaca koran bekas yang dibelinya di pasar, ia menemukan berita tentang beasiswa belajar di salah satu universitas ternama di Cina. Hatinya berdegup kencang. Ia tahu, ini adalah jalannya.
Namun, perjalanan tidak mudah. Akmal harus mengumpulkan dokumen, belajar bahasa Mandarin, dan mempersiapkan diri untuk ujian beasiswa. Ia bahkan bekerja serabutan di siang hari untuk membiayai kursus malamnya. "Jika ingin berhasil, harus rela berkorban," gumamnya sambil menyeka keringat.
Berbulan-bulan kemudian, kabar baik itu datang. Ia diterima! Namun, kebahagiaan itu bercampur dengan rasa haru. Ibunya menangis di sudut rumah, tak ingin melepas anak sulungnya pergi jauh. Ayahnya, meski tampak tegar, terlihat sering termenung di ladang.
"Kami merelakan mu, Nak," ujar ayahnya akhirnya. "Pergilah dengan niat baik. Jadilah cahaya bagi keluarga dan masyarakat mu."
Dengan doa dan bekal seadanya, Akmal berangkat ke Cina. Hari-harinya di sana tidak mudah. Ia harus menyesuaikan diri dengan budaya baru, belajar keras, dan menghadapi kerinduan pada keluarganya. Namun, semangatnya tak pernah surut. Ia selalu teringat nasihat ayahnya: Ilmu itu cahaya, dan cahaya harus dikejar.
Empat tahun berlalu. Akmal pulang ke desanya dengan kepala tegak. Ia tidak hanya membawa gelar, tetapi juga pengalaman dan pengetahuan yang akan ia gunakan untuk membangun desanya.
"Pak, Bu, terima kasih atas doa dan restunya. Kini giliran saya membalas semua kebaikan kalian," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Akmal membuktikan bahwa mimpi besar, meski berasal dari tempat kecil, bisa tercapai dengan tekad, doa, dan kerja keras. Ia menjadi bukti nyata bahwa menuntut ilmu hingga ke negeri Cina bukanlah sekadar pepatah, melainkan jalan untuk meraih cahaya kehidupan.