Mohon tunggu...
Indah Meitasari
Indah Meitasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

je m'appelle Indah, je suis Indonesianne, j'habite a bekasi, j'aime taylor swift

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

FLASHBACK

27 Oktober 2012   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:19 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351355286454892879

FLASHBACK –cerpen by Indah Meita

Langkahku pelan dan meragu, terdiam beberapa saat meyakini diri sendiri untuk tetap melangkah tanpa berat. Namun perasaan takut untuk terserang flashback attack membuat dahiku mengerut seraya menutup mataku dan merasakan udara segar dan embun malam yang mulai turun.

Aku mengambil napas panjang dan menghembuskannya sehingga karbondioksida yang keluar dari tubuhku membentuk kumpulan asap akibat dinginnya udara di sini. Selangkah demi selangkah tidak terasa aku telah berada di depan air mancur, lampion-lampion berbagai warna dan bentuk menghiasi tempat ini menjadi sangat indah. Meneruskan langkahku, ada perasaan entah bisa kusebut apa namanya, senang atau malah cemas. Tidak begitu banyak orang disini karena hari ini adalah hari kerja, aku pikir ini memang lebih baik.

“Ka, maaf, bisa minta tolong?” seseorang menepuk pundakku, seorang perempuan sekitar 17-19 tahun dan agaknya aku sedikit terkejut, atau bisa dibilang melamun.

“Oh iya..” dengan senyum aku menawarkan diri.

“Tolong fotoin kami berdua ya, Ka?” malu-malu anak perempuan ini menunjuk dirinya sendiri dan satu anak laki-laki yang sepertinya sebaya dengannya, sambil menyodorkan kameranya padaku.

“Oh, iya tentu saja” aku tersenyum lagi dan mengambil kameranya. “Kalian mau foto di mana?” tanyaku sambil mencari-cari dimana tombol capture-nya.

“Di sini ya” anak perempuan itu menunjuk satu tempat yang dikelilingi lampu hias dan lampion membentuk gapura dan ditengahnya terdapat tempat duduk terbuat dari batu. Terdiam aku beberapa detik ter-flashback kembali ke waktu itu, satu tahun yang lalu. Kami berdua lama duduk di sana, membicarakan banyak hal, pengalaman, masa depan, cerita-cerita konyol sampai cerita sedih, tapi tak satupun kata yang keluar dari mulut kami berdua tentang perasaan masing-masing. Entah kenapa ketika mulutku ingin mengucapkan kalimat-kalimat yang sudah kususun sebelumnya tentang perasaanku, selalu ada sesuatu yang menahan agar kalimat itu tidak terucap. Begitu terus sampai akhirnya kami terdiam…

“Kak, kakak, kenapa diam?” anak perempuan itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku terasa tersedak saat ini, memoriku kembali ke dunia nyata yang sekarang ini kujalani.

“Eh, iya, maaf aku agak ngelamun” aku nyengir pertanda permohonan maaf, “Oke, siap ya..” mereka berpose seperti layaknya remaja yang sedang berpacaran, atau memang benar berpacaran, terserahlah bukan urusanku. Kemudian aku beberapa kali mengambil gambarnya, kadang dihapus jika gambar yang aku ambil ternyata tidak bagus—yeah, aku bukan photographer—, tapi beberapa kali mereka menyukai engel yang aku ambil dari foto mereka. Namun tidak mendorongku untuk menjadi seorang photographer sama sekali.

“Makasih ya, kak” ucap mereka berdua, “Kakak mau aku foto?” tanya anak laki-laki yang sepertinya pacar dari anak perempuan itu.

“Mmm…” ada perasaan ingin, tapi kusimpan keinginan itu baik-baik, “tidak, tidak usah, terima kasih” aku tersenyum lagi padanya, lalu mereka memberi salam perpisahan dan berkeliling lagi.

Tinggallah aku sendiri di depan tempat duduk batu bergapura lampion ini. Entah kenapa aku melangkah mendekatinya dan merasakan kembali duduk di sisi kiri. Dingin, tempat duduk ini dingin. Dia tertawa, meceritakan kekonyolannya di sekolah dasar, tidak kuat menahan sakit perut dan semua teman sekelasnya merasakan bau yang berasal dari kursinya. Aku pun tertawa, kami berdua tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Kali itu aku merasakan menjadi diri sendiri, bersamanya. Aku bebas tertawa, bertingkah laku konyol , menceritakan lelucon-lelucon, dan menyanyi sepuasnya walaupun aku tau dia tidak menyukainya, tapi dia tetap mendengarkan. Ya Tuhan, aku merindukan saat-saat itu, aku merindukannya. “I miss that time, I miss him so much” tertunduk aku tak terasa mataku berair. Menjaga agar tidak menangis, kuusap mataku dengan tangan.

“Kamu kangen sama siapa?” tanya seseorang yang suaranya aku kenal.

Berhenti mengusap mata, aku melihat sepatu dan jeans yang sedang dipakai seorang laki-laki berada tidak lebih satu meter di depanku. Kuangkat kepalaku pelan-pelan sampai pada satu sosok yang membuatku hampir tidak bisa bernapas. Matanya menatapku dan bibirnya menyimpul senyum, sedangkan aku berada pada kondisi yang tidak seharusnya dia lihat, mata berair dan mimik wajah yang tidak wajar, meratapi nasib, shock, ketakutan—ah tidak, bukan itu—, atau bisa dibilang nervous.

“Galih? Kamu sedang apa di sini?” wajahku pasti pucat dan terlihat nervous.

“Kamu kangen sama siapa? Tadi aku dengar, kamu bilang I miss him so much” ia masih berdiri di depanku, masih seperti dulu, memakai sweater pemberianku sebagai hadiah ulang tahunnya, dan membawa kamera super besarnya—aku tidak tau namanya apa—.

Terasa seperti ditonjok dari belakang, seharusnya aku pingsan, dan tidak perlu menjelaskan kalimat bodoh tadi. Sekarang aku memaki diri sendiri dalam hati kenapa kata-kata itu mesti keluar dengan lancar begitu saja dari mulutku. Namun, ini bukan sepenuhnya salahku karna Galih datang secara tiba-tiba dan dengan lancang mendengarkan omonganku, ini privasi bukan? Lalu kenapa mesti memaki diri sendiri, itu bodoh namanya.

“Hei, itu tidak sopan namanya sengaja mendengar omongan orang. Lagipula kamu kenapa tiba-tiba di sini?”berusaha mengalihkan pembicaraan, aku sedikit membentaknya, tapi tidak dari hati sebenarnya.

Kemudian ia melangkah maju dan duduk di sampingku, tepat seperti satu tahun lalu, kami duduk di sini dengan posisi yang sama, mengangkat satu kaki kanannya ke tempat duduk dan kami saling berhadapan sekarang.

“Aku tau kok, kamu mau ke sini” katanya datar.

“Tau dari mana kamu?” aku mengerutkan dahi penasaran.

Lalu Galih mengeluarkan smartphone nya mengetik beberapa tombol, “Nih” ia menunjukkan sesuatu di smartphone nya, twitter, now Fantasy Night Village, twitku dua jam yang lalu. Wajahku berubah memelas, mengakui bahwa dia punya alasan.

“Tapi buat apa kamu ke sini menyusulku? memangnya kamu tau sebelumnya aku ada di kota ini? Bukannya hari ini kamu ada kuliah?” tanyaku lagi sebagai pembelaan.

“Hari ini aku tidak ada dosen. Kalo kamu tidak ada di kota ini, buat apa juga kamu buat twit itu? Berbohong? Lagian kamu kenapa tidak bilang padaku kalo mau ke sini? Kalau kamu bilang, aku jadi ada temen jalan-jalan lagi di sini” jelasnya dengan mimik candanya yang agaknya terlihat seperti sebuah paksaan, mencoba mencairkan suasana. Namun usahanya gagal, aku terpancing untuk menumpahkan isi kepalaku tentangnya.

“Iya, karena kamu tidak ada teman yang bisa diajak jalan-jalan, jadinya kamu butuh aku kan? Kalau di Jakarta, lebih banyak teman-teman kamu yang lebih pantas diajak jalan-jalan” kata-kata itu begitu saja muncul tanpa bisa disaring lagi. Tapi kenapa perasaaanku puas setelah bilang begitu. Aku tertunduk.

Galih terdiam, sepertinya dia ragu-ragu untuk bicara. Aku menunggunya menjawab pertanyaanku.

“Maaf Gi, aku minta maaf kalau kamu merasa seperti itu. Aku tau juga, aku sudah dicap jelek di mata kamu, aku yang egois, ngaret, tidak tepat janji..”

“Yes!” tegasku.

“Sahabat aku..” terusnya, “..suka sama kamu, bisa dibilang sayang sama kamu, dan kamu tahu itu kan, tahu siapa orangnya kan?” Aku tersentak dan menoleh ke arahna memperlihatkan kerut wajah bertanya-tanya.

“Sean menyukai kamu, sampai pada saat kamu ke sini beberapa bulan yang lalu dia menghubungiku, mengancamku, jika kamu kenapa-kenapa karena aku, dia sendiri yang akan melakukan sesuatu padaku” jelasnya lagi dengan tenang, tetap menatapku dan aku masih berada pada kondisi tidak punya kata-kata yang bagus untuk diucapkan.

“Dia jelous sama aku, Gi. Walaupun dia itu sahabatku, itu sudah perasaan yang bicara. Jadi aku harus jaga perasaan dia” kata-kata terakhir Galih membuatku cukup mempunyai kata-kata yang bagus sekarang.

“Jaga perasaan?” aku mulai menegakkan tubuhku menghadap dan menatapnya, “Memang kamu tau perasaan aku ke Sean seperti apa? Memang kamu tau perasaan aku ke kamu bagaimana? Kamu tau juga, perasaan aku ketika tiba-tiba kamu menjauh begitu saja dan tidak membalas sama sekali surat dariku? Yang katanya dulu kamu setuju untuk sahabat pena-an sama aku? Dan semua janji-janji kecil kamu untuk membuatkan aku katak dari kertas? Membuatkan aku nasi goreng? Dan ketika kamu bilang kamu akan selalu ada mendukung aku diwaktu aku ada masalah?” mataku mulai berair, “Kamu memang lupa, sibuk, atau sengaja lupa?” aku berusaha menahan gemuruh yang ada di hati, namun sulit, air mataku menetes.

“Gi..” Galih mencoba mengusap air mataku, tapi aku menahan tangannya. Sepertinya dia kehabisan akal untuk menjawab tidak jujur semua pertanyaan yang selama ini singgah di dalam hatiku.

“Aku tau..” lanjutku, “Aku tidak mungkin dekat lagi sama kamu, walaupun padahal aku sudah menutup kemungkinan perasaanmu padaku, dan aku hanya membatasi kamu sebagai sahabatku, tapi itupun tidak bisa. kamu hilang begitu saja, entah kemana. Dan orang yang aku kangenin tadi itu kamu” semudah itu kata demi kata keluar dari bibirku, tidak tahu nantinya akan berakibat apa.

Kami berdua berada dalam keheningan malam yang dingin, embun yang tadi pun muncul lagi. Aku beku dan bingung setelah ini. Galih menggenggam tanganku, “Dingin ya Gi? Aku pegang ya tangan kamu, biar tidak begitu dingin” ia meraih tanganku yang satu lagi. Sulit untuk menolak perasaan ini, jujur aku kedinginan dan tangannya begitu hangat. Dengan tengang dia mulai bicara, “aku tidak punya pilihan waktu itu, aku tau perasaan kamu ke Sean, perasaan kamu ke aku..” dia menekankan, “..kamu suka kan sama aku?” aku tersedak lagi, menelan ludah, berpikir sejenak apakah aku harus memberikan keterangan palsu, namun begitu saja aku mengangguk pelan.

Ia menarikku mendekati tubuhnya sampai aku bisa mendengar denyut jantungnya yang bedetak cepat. Tangannya melingkari punggungku, aku tidak biasa, nervous, tapi nyamannya berada di sini, hangat membuatku rileks.

“Aku minta maaf sekali lagi, kamu itu baik, semua laki-laki yang mengenalmu pasti bilang kamu menyenangkan, dan dia, siapapun itu, akan nyaman sama kamu. Kamu akan mendapatkan orang yang lebih baik dariku” sambil mendengarkan jantungnya yang berdetak cepat, akupun mendengarnya berbicara dekat sekali dengan telingaku, namun kata-katanya memberikan suatu pukulan hebat buatku. “Aku sudah bersama Indah, dia pacarku sekarang, dan kamu tau itu” ada sesuatu yang menancap di hatiku sekarang, dinginnya udara merasuk ke tulang sampai terasa rapuh dan patah. Aku menutup mata, mearik napas dan tidak tahu apakah masih kuat mendengar pernyataan berikutnya. Tapi Galih mulai bicara lagi, “Aku rasa kita bisa jadi temen biasa lagi, menetralkan semuanya”.

Aku menarik napas lagi dan mengakui bahwa kata-kata yang terakhir hampir saja membunuhku. Tapi tidak di sini, tidak di depannya dan aku tidak lemah. Aku menarik diri dari tubuhnya dan duduk tegap memandang air mancur mengeluarkan buih-buih seperti busa ke atas. “Iya, baiklah kalau itu yang kamu mau” aku berdiri dan menoleh ke arahnya. Ia pun berdiri mengadapku menunggu aku berbicara. Tidak tahu bagaimana bisa aku menggambarkan perasaanku sekarang, tapi mungkin aku harus memeluknya agar sedikit mengurangi rasa sakit ini. Ragu-ragu aku melangkah, namun aku berhasil memeluk tubuh tinggi besarnya itu dengan bantuannya yang sedikit menunduk. Aku memeluknya erat, entah benar atau tidak ternyata teori peluk itu bisa mengurangi sedikit kecemasan dan beban seseorang adalah benar. Aku merasakannya sendiri.

“Semoga kamu langgeng sama Indah, I love you so much” bisikku padanya.

“Thanks, be careful ya Gi” ia mengelus punggunggku yang kurus, mungkin Galih bisa merasakan betapa tulangku sangat kecil sekarang, “kamu gemukin badan ya”.

Kami sama-sama melepaskan pelukan yang tidak akan aku lupakan sepanjang hidupku. Pertemuan yang tidak disengaja ini diakhiri dengan senyuman kecil bermakna besar.

Aku berjalan dengan menggandeng rasa lega dan juga sakit, apakah akan aku bawa pulang atau aku biarkan tetap di sini? Kejadian tadi membuatku berjalan lurus tanpa arah, lupa tempat parkir mobilku, dan tidak tau kenapa aku sudah berada di tengah jalan dengan suara-suara bising seperti orang-orang berteriak ke arahku “Awas..awas..!” aku menoleh ke kiri dan sorotan cahaya itu semakin dekat dan seketika seperti ada pukulan keras di perutku. Aku merasa terbang dan tergulung sampai pada suatu detik dimana kepalaku sakit membuatku ingin muntah dan samar-samar terdengar suara ricuh di sekitarku, “Tolong..tolong..tolong ini bantu”. Tak mampu bergerak, namun aku masih bisa melihat secara samar orang-orang mengelilingiku, kemudian seseorang mendekatiku sungguh dekat, memegang tanganku, wajahku, dan aku bisa mengenalnya namun samar. Cahaya itu lama kelamaan menyamarkan semua yang ada di sekelilingku, hanya terdengar suara-suara mereka, dan satu suara dekat denganku bergetar, “I miss u too, Gia, I love u too”. Dan semua hilangbegitu saja.-Gia membiarkan perasaannya tetap di sini, tempat di mana kenangan bersama Galih terus ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun