“Saya gak gusur orang saya mindahin hidup orang lebih baik,” kata Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Balai Kota Jakarta, Rabu (12/10/2016) [1]
Ahok mengklaim bahwa warga yang dugusur itu sekarang memiliki kehidupan yang jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Pasalnya, mereka yang digusur diberi rumah susun sebesar 36 meter persegi untuk satu keluarga. Selain itu juga dilengkapi fasilitas lainnya seperti pelayanann kesehatan, pendidikan, bus gratis dan lain sebagainya.
Belakangan ini klaim Ahok ini terbantahkan. Survei LBH Jakarta malah menemukan bahwa kehidupan mereka yang tergusur itu lebih buruk ketimbang sebelumnya. Sebagai catatan, survei ini dilakukan pada 9-17 April 2016 di 18 runawa yang dihuni oleh korban penggusuran paksa di wilayah DKI Jakarta. Temuan mereka adalah :
Peningkatan jumlah pekerja serabutan dan pengangguran. Dampaknya jumlah warga yang memiliki pendapatan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Tahun 2016 juga meningkat. [2]
60,4 Persen Hak Akses Transportasi Warga Rusun Tak Terpenuhi, karena lokasi rusun jauh dari tempat tinggal warga [3]
59,8 Persen Warga Rusun Tidak Miliki KJP dan KJS [4]
Kalau survei LBH Jakarta dianggap tidak bisa memaparkan fakta yang terjadi, barangkali keluhan-keluhan-keluhan warga di bawah di bawah ini bisa mengajak kita untuk berpikir lebih jernih terkait dampak dari penggusuran ini.
Masruroh Noviani bekas warga Pasar Ikan, Penjaringan mengaku kehidupannya lebih susah setelah penggusuran. Dulu ia bisa menabung Rp 20 ribu/ hari, sekarang Rp 1.000 saja sudah sulit. Pasalnya, sejak tinggal di Rusun Rawa Bebek, pengeluaran keluarganya melonjak drastis.
Total biaya tambahan setiap bulan sekitar Rp 1.920.000, terdiri dari : 1) Rp540 ribu untuk biaya sewa rusun, listrik, dan air.; 2) Rp 300 ribu untuk ongkos kedua anaknya ke SDN Pulo Gebang 13; 3) Rp 1.080.000 untuk ongkos ke tempat kerja suaminya. Padahal suami Noviani cuma bekerja sebagai supir truk.
Tragisnya ada pula penghuni Rusun Rawa Bebek yang kini menjadi pemulung. [5]