"Hutan ini tidak sepi."Â
Putra menatap Kusuma ragu. Lantas, dia memutar pandang, lalu menggaruk kepala kasar. Rambunya yang basah melontarkan titik-titik air ke paras ayu. Namun, gadis itu seakan tak peduli. Sepasang mata indahnya kembali menjelajah angkasa, melewati barisan kejora yang mulai bermunculan, tanda hari telah melewati tengah malam.Â
Selang beberapa saat, seekor gagak hitam mendekat dan bertengger di dahan. Kusuma beranjak dari tempatnya. Langkah demi langkah yang dia jejakkan begitu ringan, layaknya seorang putri yang menghampiri sang kekasih.Â
Tepat di bawah pohon mahoni, dia berhenti, lalu mengacungkan tangan kanan sembari mendongak. Petikan jari membawa burung itu hinggap di lengannya.Â
Putra takjub menyaksikan pertunjukan itu. Aksi yang pernah dilihatnya dalam pertunjukan sirkus dan panggung taman safari. Dia pun mulai berpikir, apakah Kusuma memiliki keahlian seperti Nabi Sulaiman?Â
Tidak mungkin! Dia bahkan bukan manusia, batinnya.
Gadis itu bergeming, memejamkan mata. Sesaat, atmosfer aneh menyelinap. Putra bisa merasakan ada desir angin yang melintas. Entah dari mana, tapi itu cukup membuat bulu kuduknya meremang. Hawa dingin menyergap Putra kemudian. Dia menggigil sembari memeluk raga. Tak lagi memperhatikan apa yang dilakukan Kusuma. Dia berpindah ke gubuk bambu, duduk mendekap kaki yang tertekuk di teras.Â
Di lain tempat, Kusuma mengerutkan kening setelah mendengar kabar dari sang gagak. "Bagaimana bisa Narendra yang terpilih? Inikah alasan kenapa aku dilarang hadir?"Â
***Â
Safitri mencengkeram Pundak Sekar, melempar kebencian lewat sorot mata. Kini dia yakin, dua sosok itu masihlah pantas menyandang gelar Ratu Rusuh di dunia dedemit.Â
Tidakkah mereka melihat bagaimana kondisi Nyi Roro? Safitri menyengih lalu memberi isyarat agar mereka enyah dari hadapan.Â