Kusuma membawa pria asing itu ke salah satu sumber mata air. Ada gubuk kecil di sana, diterangi obor dan lampu minyak. Tak jauh darinya, aliran air jernih keluar dari sebilah bambu berukuran besar, membasahi bebatuan legam yang tertata apik di sekitarnya.Â
Gemercik air bagai penghilang dahaga yang sedari tadi menggeliat di tenggorokan. Haus. Putra butuh banyak air untuk membersihkan diri dan mengisi kembali cairan tubuh yang hampir kosong. Tanpa basa-basi, pria itu menuju pancuran. Ditelannya kumpulan air yang terkurung kedua tangan. Muka yang berlumur tanah, dibasuhnya berulang kali. Dia bahkan tak memedulikan seberapa dingin air itu.Â
Sementara dia menghabiskan banyak waktu di sana, Kusuma duduk di batu besar yang berada di sisi lain gubuk. Di hadapannya, sabana membentang---lahan berumput serupa lautan yang memisahkan bukit satu dan bukit lainnya. Di sana, dia menikmati keindahan malam dari sisi berbeda. Bukan pesta pora layaknya acara penobatan senapati, tapi keindahan alam yang sesungguhnya.Â
Ribuan bintang yang berkedip seakan berkata: lihatlah aku dan nikmati malam ini. Â Kusuma menghela napas panjang, melepas sedikit beban di pundak yang tak tahu kapan kan hilang.Â
"Kamu tidak haus?" Putra duduk di sampingnya dengan acuh.Â
Kusuma menoleh, meneliti wajah dan pakaian basah lelaki itu. Kemudian, dia tertawa kecil. "Apa manusia mandi tanpa melepas pakaian?"Â
Pandang Putra liar menelusuri tubuh sendiri. "Apa kamu mau melihat tubuhku?"Â
Mendengar celetukan itu, Kusuma bergegas membuang muka. Dilihatnya barisan pohon dan semak belukar di sisi kiri. Dia mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. Kunang-kunang atau apalah yang bisa menjadi tema pengganti obrolan mereka.Â
Sayang, tak ada apa-apa di sana. Alhasil, dia hanya bisa berkata, "Tidak! Perlu kamu tahu, udara di sini cukup dingin. Kamu bisa sakit jika mengenakan pakaian basah itu."Â
"Apa ini tempat tinggalmu? Sendiri di tengah hutan, kamu tidak kesepian?"Â