Diplomasi yang baik dalam Islam tidak hanya harus mengutamakan tujuan dan kepentingan nasional, tetapi sarana dan proses negosiasi yang berkelanjutan harus dilihat sama pentingnya dengan tujuan diplomasi itu sendiri.Â
Diplomasi Islam dapat diartikan sebagai hubungan resmi antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, yang diturunkan dari Al-Qur'an yang berisi contoh-contoh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Diplomasi Islam didasarkan pada Al-Qur'an, Hadits, dan tanggal Nabi sebagai model nyata.
Praktek diplomasi Islam salah satunya terdapat pada diplomasi muawiyyah bin Abi Sufyan dan diplomasi Umar bin Abdul Aziz yang merupakan khalifah pada dinasti Umayah, yaitu dengan menerapkan sistem daulah yang baik dengan pengelolaan administrasi keuangan, khalifah sebagai pusat utama, gubernur di setiap negara, dan terdapat hakim.Â
Hal tersebut dapat terlihat bagaimana seorang pemimpin yang baik terdapat pada pemimpin yang pandai dalam mengelola sistem kenegaraan yang baik dari segala aspek. Diplomasi yang mereka terapkan adalah diplomasi koeresif yang dimana diplomasi tersebut terjalin tanpa adanya peperangan diantara kedua negara atau lebih.Â
Dengan strategi kecerdasan yang dimiliki oleh umar bin abdul aziz dalam berdiplomasi sebagai gubernur madinah lalu menjadi khalifah kelima dinasti umayyah tidak menginginkan adanya pertumpahan darah dan selalu memilih jalan negosisasi yang baik kepaada pihak lawan.
Umar bin abdul aziz sendiri sangat dicintai rakyatnya dari ia menjadi gubernur hingga menjadi khalifah kelima meskipun umar sendiri tidak menginginkannnya. Umar sendiri tidak pernah memakai uang dari hasi kepemerintahannya bahkan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H