Politik Uang (money politics) selalu menjadi pembicaraan hangat tiap gelaran kontestasi politik, baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada. Diantara itu termasuk Pilkada di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang akan digelar 27 November mendatang,
Politik uang menjadi kekhawatiran besar partai politik, intelektual, hingga masyarakat luas. Sebab, adanya politik uang itu bisa merusak sendi-sendi demokrasi kita.
Perlu disadari, politik uang ini memang menjadi salah satu musuh utama demokrasi. Banyak studi menunjukkan bahwa politik uang akan menurunkan derajat kualitas demokrasi. Alih-alih makin demokratis, kita justru semakin mundur.
Sebab, keterpilihan pemimpin bukan disandarkan pada kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan, melainkan sumber daya material. Ini membuat calon-calon yang asal punya uang bisa menang padahal kualitasnya bisa jadi kurang standar.
Masalahnya, politik uang makin dianggap lumrah oleh masyarakat Indonesia. Temuan survei Indikator menunjukkan, pada Pemilu 2019 sebanyak 9,8 persen pemilih menyatakan menolak politik uang. Sedangkan di Pemilu 2024 jumlah pemilih yang menolak politik uang menurun ke angka 8 persen.
Selain itu, jumlah pemilih yang mendasarkan pilihannya karena uang meningkat dari 28 persen di Pemilu 2019 menjadi 35 persen di Pemilu 2024. Temuan ini sangat mengkhawatirkan.
Namun, kondisi itu bukan tanpa harapan. Kita masih punya amunisi untuk melawan politik uang di Jakarta. Hal itu salah satunya terletak pada anak-anak muda Jakarta yang kritis dan rasional.
Mereka mempunyai kesempatan besar mewujudkan Pemilu 2024 lebih bersih dan bebas dari politik uang. Pasalnya, jumlah mereka kini sangat dominan, bahkan dianggap mayoritas dari total populasi pemilih.
Merujuk data KPU DKI Jakarta, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 8.252,897 orang. Dari jumlah tersebut, prosentase pemilih dari Gen-Z sebesar 18,5 persen, Generasi Milenial (25-39 tahun) sebanyak 32,9 persen, Generasi X (40-55 tahun) 31,5 persen, Baby Boomers (56-75 tahun) 15,5 persen, serta Pre-Boomers (>75 tahun) 1,5 persen.
Berdasarkan komposisi di atas, pemilih muda yang terdiri dari Gen-Z dan Milenial menjadi kelompok terbesar, yakni lebih dari 50 persen.
Nah, menjadi opportunity bagi kita, anak-anak muda ini biasanya identik dengan pemilih yang kritis dan rasional. Mereka memiliki idealisme yang tinggi dibandingkan generasi sebelumnya karena relatif tidak ada keterikatan secara emosional ataupun ideologi (apolitis). Oleh karena itu, mereka bisa lebih independen ketika mengevaluasi kandidat yang akan dipilih pada kontestasi politik 2024.
Hal ini misalnya terlihat dari seorang perempuan bernama Melinda (24 tahun) dari Jakarta Pusat. Ia sangat selektif dalam memilih calon pemimpin. Mulai dari rekam jejak, visi misi yang disodorkan, serta janji politik.
Semua variabel itu diperiksanya satu-satu sehingga harapannya harus sesuai dengan kapabilitas sang calon. Tak hanya itu, program yang dijanjikan juga mesti dikawal saat pemimpin tersebut terpilih.
Yang lebih penting lagi, Melinda juga enggan menerima 'gula' atau biasa disebut politik uang dari para calon saat melakukan kampanye. Menurutnya, hal itu hanya akan selalu menjerumuskan pelaku pada hal yang transaksional sehingga kebijakan yang diambil saat memimpin nanti tidak berorientasikan kepentingan rakyat.
Dari anak-anak muda Jakarta tipikal Melinda inilah secercah harapan mengenai Pilkada yang bersih dari politik uang bisa kita sematkan. Pilkada Jakarta masih mungkin terbebas dari politik uang asalkan anak-anak mudanya mampu berpikir kritis dan rasional.
Pesan kita cuma satu: Mari jaga suara kita, jangan pilih kandidat yang menyodorkan uang. Karena pasti ada udang di balik batu. Yaitu, mereka pasti mengincar sumber daya publik untuk akumulasi pribadi dan kelompoknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H